Youth of Today: Ruang Distribusi Pengetahuan dan Usaha Menjinakkan Sejarah

— Arlingga Hari Nugroho

Narasi tentang Orde Baru dan kait kelindannya dengan peristiwa ‘98 sepertinya selalu punya cara untuk hadir kembali di masyarakat hari ini, sengaja ataupun tak disengaja. Selain di buku sejarah Indonesia, ingatan tentang peristiwa tersebut tak jarang pula muncul secara organik melalui oral history. Pengetahuan mengenai peristiwa tersebut, dapat muncul melalui asupan narasi dari lingkungan keluarga. Sebagai unit sosial terkecil dari masyarakat, keluarga setidaknya punya peran untuk membagikan narasi-narasi masa lalu kepada generasi selanjutnya.

Mengingat masa Orde Baru hingga momentum Reformasi di Indonesia, bukanlah perkara yang mudah bagi generasi kelahiran tahun 90-an. Ada jejak sejarah yang tercecer untuk dipungut, kemudian disusun untuk dibaca, direfleksikan, dan didistribusikan sebagai suatu pengetahuan. Proses inilah yang kemudian secara implisit dialami oleh lima perempuan muda yang terlibat dalam program residensi Youth of Today 2023.

Youth of Today merupakan program residensi yang diinisiasi oleh Ruang MES 56 sejak tahun 2004. Program ini menghadirkan ruang eksplorasi bagi perempuan muda untuk membicarakan beragam gagasan dan kaitannya dengan budaya visual. Hampir selama 20 tahun, Youth of Today telah mengumpulkan tiga angkatan dengan rentang waktu gelaran sekitar 10 tahun sekali.

Baca Juga: Sebelum (re)Reformasi: Catatan Residensi Youth of Today 2023 [Bagian Pertama]

Sejak Januari lalu, lima perempuan muda di antaranya Amal Purnama (Jogja), fionnymellisa (Semarang), Gisela Maria (Jogja), Syska La Veggie (Surabaya), dan Tennessa Querida (Bandung) menjadi seniman undangan untuk residensi Youth of Today 2023. Didukung oleh Savitri Sastrawan sebagai kurator, mereka mulai mengupas tema besar tentang Orde Baru, peristiwa ‘97 dan ‘98, hingga masa setelah Reformasi secara lebih personal. Dengan beragam latar belakang, tempat asal, dan passion, lima seniman tersebut kemudian terlibat dalam rangkaian pameran Mengingat 25 Tahun Reformasi yang diinisiasi oleh Cemeti Institute for Art and Society.

Distribusi Pengetahuan Lintas Generasi

Sesi diskusi bersama Siti Adiyati (dok. Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)

Terhitung selama hampir 6 minggu, kelima seniman berkumpul, menggali gagasan, mendiskusikan wacana, hingga pada akhirnya memproduksi karya. Masa residensi ini dijalani seniman Youth Of Today (selanjutnya YoT) dengan melakukan kunjungan ke beberapa tempat untuk bertemu dengan pelaku seni dan komunitas seni/sosial. Ada sekitar 18 kunjungan yang dijalani seniman YoT selama satu bulan lebih, terhitung sejak 10 Januari hingga 14 Februari 2023.

Daftar kunjungan ini menaruh banyak perhatian pada gerakan aktivisme dan isu-isu perempuan yang digaungkan oleh individu atau komunitas. Sebut saja misalnya Biyung Indonesia, Ika Ayu, Needle and Bitch, Rifka Annisa WCC, Fitri DK, Nadiah Bhamadaj, INSISTPress hingga kuliah umum dengan Prof. Dr. Saskia E. Wieringa. Selain itu, tak luput juga obrolan tentang penciptaan/produksi karya seni bersama Moelyono, Siti Adiyati Subangun, Alia Swastika, Mira Asriningtyas, dan Syafiatudina menjadi bahasan yang menggugah sebab memberikan perspektif lain dalam berkesenian.

Baca Juga: Sebelum (re)Reformasi: Catatan Residensi Youth of Today 2023 [Bagian Kedua]

Kunjungan residensi ini menjadi cukup menarik sebab ada gap sejarah yang coba diterka dan disusun seniman YoT secara personal berbekal pengalaman pribadi, narasi yang didapat dari lingkungan, dan pengetahuan umum mengenai peristiwa sejarah itu sendiri. Ruang diskursif antara narasumber dan lima seniman YoT kemudian terjalin ketika mereka saling bertukar pandangan dan pengalaman. Ada persoalan yang coba dibentangkan oleh masing-masing narasumber ketika menyinggung soal Orde Baru dan Reformasi. Sebagai generasi yang lebih awal, sebagian narasumber memberikan gambaran lain mengenai sejarah yang kerap terpinggirkan. Mengandalkan kata kunci yang beririsan dengan tema pameran: Mengingat 25 Tahun Reformasi, kunjungan residensi YoT menjadi forum distribusi pengetahuan lintas generasi.

Meski tak secara langsung dan terang-terangan, namun ada kesadaran bahwa segala persoalan yang terjadi sepanjang mengingat peristiwa pasca Reformasi berasal dari satu muara yang sama: Orde Baru. Bahkan muara ini seakan membentuk sungai yang tak pernah putus mengalir hingga melintas 25 tahun berikutnya. Misalnya ketika Ika Ayu membicarakan aktivisme dalam menyuarakan isu-isu perempuan dan advokasi golongan pinggiran di masa setelah Reformasi. Dalam pengalamannya, ternyata masih terjadi bentuk represi yang sama dari aparat ataupun organisasi masyarakat (ormas) seperti yang dipraktikkan kelompok penguasa untuk meredam gerakan akar rumput di masa Orde Baru.

Untuk perihal pangan, Bakudapan Food Study Group mengingatkan bahwa salah satu hasil dari rezim Orde Baru adalah pergeseran atau penggunaan terma tertentu yang akhirnya mengalienasi pengetahuan asli yang berasal dari suatu komunitas. Narasi soal pangan liar atau meramban, perlahan terpinggirkan dan tertimbun dengan gencarnya regulasi tentang monokultur, kebijakan tentang pupuk, hingga transmigrasi di masa Orde Baru.

Baca Juga: Sebelum (re)Reformasi: Catatan Residensi Youth of Today 2023 [Bagian Ketiga]

Atau contoh lainnya seperti yang diceritakan Biyung Indonesia dan Needle and Bitch tentang bagaimana sistem patriarki mendominasi hampir di segala aspek kehidupan. Bahkan untuk membicarakan kesehatan reproduksi perempuan saja selalu dianggap tabu di berbagai percakapan. Belum lagi persoalan ruang hidup, buruh, dan agraria yang selalu menjadi ‘korban’ kebijakan seperti yang diceritakan tim INSISTPress, dalam konteks sebelum dan sesudah Reformasi.

Distribusi pengetahuan lintas generasi ini, lantas menghadirkan kesadaran mengenai adanya intervensi Orde Baru yang coba direfleksikan ulang oleh para seniman residensi YoT. Apakah Orde Baru dan Reformasi memengaruhi keluarga? Atau membentuk pola pikir teman sebaya dan lingkungan? Atau adakah ingatan traumatik yang membekas dalam diri? Seni kemudian jadi semacam perantara untuk menggelontorkan isi kepala seniman tentang intervensi tersebut menjadi sebuah karya.

Bentuk Kekaryaan yang Organik dan Personal

Sesi diskusi bersama seniman Youth of Today (dok. MES 56)

Praktik produksi karya yang dilakukan oleh seniman YoT ini menjadi penting sebab ia telah melalui proses residensi sebelum menaruh karya di ruang galeri. Dari perbincangan bersama narasumber, gagasan untuk menyiapkan bentuk kekaryaan terasa lebih utuh. Konteks Orde Baru dan Reformasi yang melulu dilekatkan dengan partai politik, sistem kepemerintahan, kebijakan, dan kuasa, tidak hadir secara gamblang di ruang pameran.

Secara kekaryaan, tak ada sedikitpun tendensi visual frontal yang identik dengan wacana besar yang hadir dalam artistik karya seniman YoT. Ketika membicarakan konteks politik Orde Baru dan Reformasi yang selalu mengarah ke bentuk-bentuk aktivisme, demonstrasi, dan benturan mahasiswa-aparat, seniman YoT justru memilih untuk menjinakkan sejarah dengan bentuk yang lebih populer di ruang galeri. Tentu nuansa personal yang intim dan organik dari masing-masing seniman lebih menonjol sebagai teks dalam kekaryaan.

Misalnya saja bagaimana Amal Purnama menerjemahkan rasa penasarannya dengan merekam obrolan orang-orang sebayanya untuk mencari tahu ingatan mereka tentang politik, peristiwa ‘98, dan pasca Reformasi. Karya berjudul “Cuma Penasaran” kemudian mengajak audiens untuk mendengarkan perbincangan jujur dan personal tentang Orde Baru, partai politik, dan intervensi kekuasaan di ranah domestik.

Kemudian ada juga karya dari Syska La Veggie yang melihat adanya kesamaan antara Orde Baru dan pandemi Covid-19. Melalui karya “Jamu Ngatiyem”, Syska merasa krisis moneter di era Orde Baru memiliki dampak yang mirip dengan masa krisis pandemi Covid-19, seperti PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pengangguran, harga bahan pokok meningkat, dan sebagainya.

Baca Juga: Ketika Sejarah Dituturkan Melalui Sekumpulan Barbie

Lalu karya Tennessa Querida Waksman yang berjudul “New Order Style Phenomenon” berusaha mereka ulang stereotype fesyen populer yang berkembang di era Orde Baru. Melalui medium boneka Barbie dengan modifikasi atribut, Tennessa ingin mengajak audiens untuk kembali mengingat bagaimana intervensi pemerintah Orde Baru menjadi salah satu pengaruh terbesar dalam perkembangan fesyen Indonesia pada waktu itu.

Yang tak kalah menarik adalah bagaimana seniman fionnymellisa menampilkan apa yang terlintas dalam ingatan ketika harus membayangkan tema besar pameran. Berangkat dari ingatan personal tentang apa saja yang dilakukan pada waktu itu, fionnymellisa menampilkan karya berjudul “Journey of Enjoying Solitude” dengan menghadirkan fanzine dan audio (mixtape) dalam kaset pita tentang perjalanan hidupnya di masa kecil.

Terakhir, tentang bagaimana peristiwa ‘98 begitu membekas dalam ingatan seniman Gisela Maria. Berhadapan langsung dengan peristiwa kerusuhan di Jakarta, Gisel yang tumbuh di keluarga keturunan Tionghoa, masih mengingat seperti apa keluarganya harus bertahan dan waspada dengan kemungkinan buruk yang menanti di depan rumah saat kekacauan terjadi. Dari situlah kemudian Gisel menampilkan karya berjudul “Penting dan Chaos: Perspektif Kecil dan Besar” dengan melibatkan 7 kolaborator anak untuk menuliskan ulang hal apa saja yang dianggap penting dan kacau.

Membicarakan Orde Baru dan Reformasi melalui medium seni, tentu tak serta merta mampu mengubah persoalan yang tersisa. Namun dari karya-karya yang ditampilkan seniman YoT dalam pameran Mengingat 25 Tahun Reformasi di Ruang MES 56, membuktikan bahwa seni punya peran penting untuk menerjemahkan hal personal dan politis bagi seorang seniman. Menjalani proses penciptaan yang organik dan personal pada akhirnya bisa membuka peluang untuk menggali narasi-narasi yang selama ini terpendam atau terabaikan.

Seperti mengingat apa yang ditulis oleh Milan Kundera, seorang novelis Ceko, bahwa perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa, menjadi sangat relevan untuk dibicarakan dalam kaitannya dengan kekaryaan para seniman YoT. Melalui kesenian, para seniman YoT seperti berpegang teguh pada kredo ini. Bukan sekadar karya yang ditampilkan, melainkan pada proses produksi karya yang menyeluruh. Setidaknya, ada proses residensi yang cukup sibuk yang telah dilalui seniman YoT dengan peluh, gerutu, dan canda tawa ketika mengingat 25 tahun Reformasi.

Ilustrasi sampul: Sesi diskusi bersama Cemeti Institut dan Ruang MES 56 (dok. Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)