Sebelum (re)Reformasi: Catatan Residensi Youth of Today 2023 [Bagian Ketiga]

— Savitri Sastrawan, kurator pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi”.

Beragam Praktik Perempuan Pekerja Seni di Yogyakarta

Dalam residensi ini kita berkunjung ke beberapa perempuan pekerja seni di Yogyakarta yang berkecimpung sebagai kolektif, kurator, dan perupa. Keberagaman praktik yang ada di Yogyakarta ini menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri selama residensi. 

Kami menemui perempuan perupa yang melalui Orde Baru dan Reformasi, yakni Ibu Siti Adiyati. Beliau juga merupakan bagian dari Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang digagas olehnya dan beberapa perupa Yogyakarta yang dipandang sebelah mata di Jakarta saat itu. Melalui pengalamannya sebagai perupa, beliau juga menulis di seni rupa, sehingga dikenal sebagai perupa dan penulis dalam seni rupa. Tulisan beliau saat itu dimuat di beberapa media, kebanyakan merupakan review atau kritik seni terhadap sebuah pameran ataupun fenomena seni.

Sesi diskusi bersama Siti Adiyati (dok. Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)

Di saat kunjungan kami, beliau memberi kelas singkat tentang artistik kesenian dalam bentuk formalnya serta wacana-wacana yang bisa diangkat. Beliau juga dengan ketelitiannya memastikan setiap partisipan residensi mengetahui apa yang ingin dicapai dalam pembuatan karya residensinya kali ini. Kepedulian beliau juga dimulai dengan ingin mengetahui latar belakang teman-teman terlebih dahulu melalui portfolionya. Di akhir kunjungan kami dapat kesempatan untuk ke studio Ibu Siti dan melihat kekaryaannya yang masih ada sejak lama. Banyak karyanya merupakan lukisan yang cukup warna-warni tetapi menarasikan pertanyaan-pertanyaan terhadap posisi perempuan dan juga anak-anak dalam masyarakat. 

Sangat menarik melihat adanya keterhubungan antara perempuan perupa yang sudah cukup senior dan jam terbangnya sudah jauh menemui teman-teman perempuan yang beberapa masih belum mengetahui apa yang sebaiknya dibuat, berhubungan teman-teman residensi tidak semua berlatar belakang belajar seni rupa. 

Menyambung pembicaraan tentang metode, di awal residensi kami sempat mengunjungi Mira Asriningtyas selaku penggagas Lir yang telah mengadakan dan mengkurasi berbagai pameran seni rupa dengan ragam medianya. Lalu yang terkini, Lir mengadakan pameran yang bertempat di alam Kaliurang berjudul 9000 mdpl. Menelusuri pameran besar ini dilakukan melalui tur yang dikawal oleh Lir. Di sini teman-teman merasa mendapat gambaran besar apa yang bisa dicapai dalam membuat karya seni. Keberagaman itu diperlihatkan lewat presentasi portfolio Mira, buku-buku katalog yang diproduksi selama pameran atau kegiatan seni yang diselenggarakan Lir. 

Salah satu yang menempel di benak partisipan adalah Curious Driven Research (baca: riset berbasis penasaran/pertanyaan) yang menurut saya menjadi basis yang menarik untuk yang berangkat bukan dari kesenian juga. Karena kekaryaan bisa dibuat dari berbagai hal inspiratif, namun penasaran/pertanyaan selalu menjadi titik awal apapun yang akhirnya kita ingin telusuri. Dengan begitu penelusuran karya itu akan bisa lebih mendalam dari disiplin apapun yang nantinya dibuat menjadi karya seni dengan media yang dipilih oleh perupa. Para partisipan di akhir residensi sempat bertemu dengan Mira secara daring untuk berbagi tentang kekaryaan mereka.

Metode kekaryaan lainnya yang sempat kita pelajari dari kolektif Bakudapan yang sekarang mengembangkan dua hal perbincangan yakni Struggles for Sovereignty dan Sejawat Merawat. Berawal dari ketertarikan bersama akan riset tentang pangan dan tanam menanam, dan adanya penyetaraan dalam berbagai hal saat Orde Baru termasuk dalam pangan juga. Contohnya adalah bahwa seluruh Indonesia harus makan nasi, padahal tidak semua daerah di Indonesia pemakan nasi. 

Dari sini Bakudapan melihat adanya violence in agraria – kekerasan struktural terhadap bercocok tanam dalam kehidupan kita di Indonesia. Lalu, mereka mengembangkan berbagai hal dalam membicarakan tentang perkembangan pangan yang ada di Indonesia dan negara sekitar melalui kolaborasi dengan kolektif di negara bersangkutan. Akhirnya mereka masuk ikut dalam perbincangan pangan melalui seni. Salah satu yang mereka kembangkan yang diaktivasi lewat kegiatan seni adalah melalui meimbuat sebuah permainan yang disiapkan beberapa bahasa. Sehingga karya itu dapat berkelana dengan sendirinya dan dimainkan di berbagai negara. Permainan itu membahas tentang transmigrasi padi dan beras yang terjadi di sekitar Asia serta kemungkinan-kemungkinan yang terjadi saat menjadi petani dengan struktur hirarki distribusi beras yang sering menjadi polemik. 

Sesi diskusi bersama Bakudapan (dok. Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)

Keadaan-keadaan seperti ini menjadi menarik dan metode yang lain lagi untuk dipahami. Beberapa teman residensi sempat menanyakan berapa bulan pembuatan permainan ini kiranya bisa dipikirkan untuk membuat satu dalam residensi ini, ternyata perlu 6 bulan, teman-teman pun urung. Tetapi ini tidak mematahkan semangat untuk berpikir terus apa yang dapat dipresentasikan di akhir residensi Youth of Today ini.

Pertemuan berlanjut dengan perempuan perupa Fitri DK selaku perempuan perupa teknik print cukil yang aktif bersama Taring Padi dan Survive Garage. Di sini lagi-lagi teman-teman residensi dapat belajar banyak tentang satu metode kekaryaan. Yang kali ini kita dapat melihat bagaimana teknik cukil dapat mengekspresikan suatu hal yang penting dengan presentasi yang cukup kuat. Fitri ikut dengan Taring Padi pasca Reformasi, sehingga ia tidak mengalami saat Taring Padi melalui masa itu. Tetapi yang membuat Fitri DK menggeluti kekaryaannya ini adalah karena pergerakan-pergerakan sosial yang ada di sekitarnya. Terutama yang terjadi sekitar tahun 2006 saat kejadian lumpur lapindo. Di sana bersama Taring Padi, Fitri ikut menyuarakan suara rakyat, membantu membuatkan media untuk aksi pergerakan mereka. Dan setelah beberapa saat bersama mereka, Taring Padi pun pamit dulu kembali ke Yogyakarta. Di saat itu ada seorang ibu yang berterima kasih dan mengatakan bahwa walaupun mereka terlihat kotor, hatinya lebih baik dari Kiai. Fitri pun tergerak bahwa yang dilakukannya sangat berarti.

Sejak itu Fitri lebih banyak berkecimpung di pergerakan aktivisme seperti Women’s March di mana ia ikut mengembangkan media yang bisa digunakan. Yang Fitri suka juga dari cukil adalah karyanya bisa diperbanyak, bisa diberikan pada gerakan-gerakan yang ia ikut di dalamnya, dan ia pun bisa bawa entah dipamerkan atau disebarkan ke tempat lain juga, sehingga gaung pergerakan mereka terdengar. Ketertarikan Fitri adalah pada gerakan perempuan yang terjadi, seperti di Kendeng di mana ibu-ibu petani menanam kakinya di semen dan pergerakan di NTT di mana ibu-ibu menghentikan penambangan dengan menenun di jalan. Menurutnya hal-hal ini sangat penting dibicarakan dan disebarluaskan ceritanya agar semua sesama manusia mengetahui keadaan dunia saat ini, terutama di tanah air sendiri.

Kami juga sempat bertemu dengan Nadiah Bhamadaj selaku perempuan perupa yang berangkat bekerja dengan teknik drawing, patung, dan sekarang juga video art. Mirip dengan saat bertemu Fitri DK, teman-teman residensi belajar banyak tentang beberapa metode kekaryaan yang dapat mengekspresikan suatu hal yang penting dengan presentasi yang cukup kuat. Nadiah memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan di industri seni di mana ia merupakan perupa di bawah salah satu galeri ternama Singapura. Setelah mengetahuinya ditipu, ia pun minggat dan ikut dengan galeri yang lebih baru yang saat ini memberikan kesempatan untuk dirinya berkarya seluas mungkin.

Sesi diskusi bersama Nadiah Bhamadaj (dok. Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)

Kekaryaan Nadiah di beberapa tahun terakhir ini sangat terikat dengan isu perempuan Indonesia beserta relasi kuasa. Ia mempertanyakan ulang berbagai hal melalui mitos-mitos Indonesia terhadap posisi perempuan dan juga berkolaborasi dengan pihak-pihak yang cukup tabu untuk diajak dalam berkesenian. Tetapi saya rasa dan melihat kegigihan Nadiah dalam berkarya dan mengekspresikan satu hal tanpa ragu lah yang membuat akhirnya karyanya bermakna. Seperti mencekam tetapi memiliki pesan yang cukup kuat untuk pengunjung renungi dan merefleksikan kembali.

Perbincangan yang lebih santai terjadi bersama Arsita Iswardhani dari Garasi Performance Institute (Teater Garasi). Sebelum kita berkunjung kita diminta untuk menonton sebuah performance lecture yang dilakukan Teater Garasi berkaitan dengan praktik kerjanya sejak tahun 1993. Saat kita bertemu, kita saling menanyakan apa yang menjadi inspirasi dan mengapa ditampilkan demikian. Ternyata memang ada semacam eksperimentasi yang dilakukan dalam pementasan tersebut.

Di sini selain mengenal apa yang dilakukan Garasi Performance Institute sehari-hari, Arsita juga ingin tahu praktik masing-masing teman residensi dan membahas bersama gejolak kesenian yang terjadi di sekitar kita. Termasuk juga posisi sebagai perempuan perupa di dunia kesenian yang kita kenal. Saking relaks dan santainya pertemuan di sini, kita merasa ada ruang aman dan nyaman untuk bercerita kesana kemari sambil menyeruput teh dan kudapan yang disediakan.

Sesi diskusi bersama Arsita Iswardhani (dok. Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)

Di antara kunjungan ini, teman-teman residensi juga bertemu Syafiatudina dari KUNCI Cultural Studies yang merupakan residen Youth of Today di tahun 2014. Perbincangan santai ini menjadi tempat teman-teman residensi Youth of Today 2023 untuk mencari tahu apa yang dilakukan teman-teman Youth of Today 2014 dan kekaryaan yang dihasilkan. Dina sangat terbuka akan percakapan pengembangan karya yang ingin dibuat masing-masing teman Youth of Today 2023, sehingga terjadilah perbincangan hangat dan mendalam terhadap sesama residen Youth of Today.

Secara keseluruhan, rasanya residensi ini sangat penuh dan berkesan di waktu yang cukup singkat. Sekiranya pengalaman-pengalaman ini dapat menjadi bekal untuk melangkah selanjut-selanjutnya dalam berkarya.

Editor: Jurnal 56
Ilustrasi sampul: dokumentasi residensi Youth of Today 2023 (Cemeti/Syahidin Ali Pamungkas)