Sebelum (re)Reformasi: Catatan Residensi Youth of Today 2023 [Bagian Kedua]
— Savitri Sastrawan, kurator pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi”.
Sekilas Gerakan Perempuan dan Gender di Yogyakarta
Dalam residensi Youth of Today 2023, kita berkesempatan untuk bertemu dan mengunjungi berbagai gerakan perempuan serta gender yang ada di Yogyakarta. Sejujurnya, waktu kami list, ada banyak sekali di Yogyakarta dan membuat saya decak kagum. Dan ini dikonfirmasi saat kita mengadakan Zoom meeting bersama Ika Ayu Kristianingrum dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY).
Ika Ayu sudah menjadi aktivis feminis sejak pra-Reformasi sampai hari ini. Aktivisme Jaringan Perempuan Yogyakarta sendiri meliputi:
– Upah pekerja perempuan
– Demokrasi dan kebebasan sipil
– Pekerja rumah tangga
– Identitas dan politik tubuh
– Perkawinan anak dan GBV (gender based violence/kekerasan berbasis gender)
– Seksualitas dan politik tubuh
– Seksualitas dan kekerasan seksual
Ia menyatakan bagaimana Yogyakarta telah menjadi tempat memperjuangkan hak-hak perempuan yang di mana kontribusinya menjadi atensi nasional walaupun akhirnya dipandang sebelah mata. Ini dikarenakan sebenarnya Yogyakarta cukup kritis terhadap isu demokrasi dan HAM yang luas. Diantaranya perjuangan untuk RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diperjuangkan Roempoen Tjoet Nyak Dien lebih dari 20 tahun sampai saat ini akhirnya belum disahkan. Mengingat baru ini UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) yang cukup lama digaungkan dan diajukan tahun 2016 akhirnya baru disahkan tahun 2022, membuktikan bahwa perjuangan-perjuangan melindung hak-hak berbasis gender masih sangat tidak diprioritaskan di Indonesia.
Seiring waktu, ada kecenderungan pergerakan yang juga mendapatkan perlakukan persekusi terutama dari kelompok-kelompok yang konservatisme agama sebagai jalan kebenaran. Tidak terkecuali yang diserbu adalah acara-acara yang mengangkat tentang LGBTIQ, HAM, dan seni. Padahal acara-acara tersebut sudah mengantongi izin dari aparat setempat, tetapi mereka akhirnya bersekutu dengan yang tidak menyukai pergerakan-pergerakan ini. Walaupun demikian, semangat-semangat pergerakan perempuan dan gender tidaklah padam di Yogyakarta. Ika Ayu menyatakan mereka menggunakan “payung-payung akomodatif” seperti Hari Perempuan Internasional dan Hari Anti Kekerasan. Keadaan ini membuat Yogyakarta menyatakan dirinya sebagai City of Tolerance (baca: Kota Bertoleransi) menjadi tidak benar adanya.
Ika Ayu melihat ada harapan yang pupus melihat keadaan Yogyakarta saat ini. Apalagi regenerasi yang tidak mudah, padahal gerakan JPY sebagai ruang konsolidasi sudah berjalan cukup lama. Namun rasanya dengan adanya beberapa pergerakan perempuan dan gender yang ada di Yogyakarta, semangat itu tidaklah pupus begitu saja. Jika memang tidak bisa dilanjutkan penuh oleh JPY, ada berbagai macam gerakan lagi yang punya nafas yang sama dan masih berjalan.
Salah satu yang sering berkolaborasi dengan JPY adalah Needle n Bitch. Kolektif yang menyatakan dirinya bergerak dengan anarka-feminisme ini merupakan kolektif yang berdikari. Ithonk dan Yunia menjelaskan bahwa pergerakan Needle and Bitch mencakup untuk kaum perempuan dan LGBTIQ di Yogyakarta, serta yang berkaitan dengan perampasan hak seperti land grabbing di Kulonprogo dalam pembangunan Yogyakarta International Airport. Needle n Bitch telah terbentuk dari 2011 oleh Mita dan sempat memulainya di Jakarta lebih dulu. Orang-orang yang ada di kolektif ini cukup tersebar atau melakukan perjalanan dari kota satu ke kota lainnya sehingga di saat perjalanan bisa saja mengadakan salah satu acara mereka dalam menyampaikan kampanyenya.
Saat ini mereka sedang men-setup ulang hotline Konseling KTD (Kehamilan Tidak Direncanakan) yang biasa mendampingi untuk memberi informasi tentang aborsi yang aman. Karena resiko yang diambil cukup besar jadi sistem keamanannya sedang dipikirkan ulang. Selain itu Needle n Bitch telah bekerja sama dengan banyak organisasi lainnya. Sebelum ini mereka juga sering membuka lapak dan mengadakan Crafty-Queer yang membahas tentang otoritas tubuh, religiosity, serta identitas seksual lewat berkolase, cukil kayu, sablon kaos dan sebagainya. Needle n Bitch juga biasanya membuat zine dari kegiatan tersebut selain mengeluarkan zine bertema secara berkala seperti tentang kesehatan alat reproduksi, menstruasi, dan banyak lagi.
Dengan posisinya kolektif ini anarka-feminisme, berarti mereka anarkis terhadap yang berkuasa, maka ia tidak berhirarki maupun tidak berafiliasi dengan pemerintah. Kampanye mereka juga melalui merchandise berkaitan dengan-dengan isu-isu yang selalu menjadi concern/perhatian mereka. Ini menjadi salah satu penghasilan berdikari kolektif ini. Disebut dalam booklet Anarka-Feminisme yang dibuat Needle n Bitch bahwa:
“…anarka feminis menghubungkan penciptaan masyarakat anarkis non otoriter yang didasarkan pada kerjasama, berbagi, saling membantu dan lain-lain, sebagai “feminisasi masyarakat”….Anarka feminisme mencoba menjaga feminisme dari pengaruh dan dominasi, ideologi otoriter, baik kiri maupun kanan….anarka feminis sadar bahwa mempelajari bagaimana menjadi eksploitator atau menindas yang efektif bukanlah bagian dari kesetaraan…. tidak ingin menggantikan hierarki maskulin dengan hierarki feminis…” [14]
Maka Needle n Bitch memiliki posisi untuk membuka ruang-ruang aman (safe space) untuk kaum perempuan, LGBTIQ dan yang terpinggirkan. Menurut Ithonk sebenarnya di Yogyakarta ada beberapa tempat yang aman dibanding dengan kota-kota lain terutama di saat terjadinya persekusi pada acara-acara kaum dan/atau bertemakan queer. Ini adalah aksi konservatisme agama yang disebut Ika Ayu sebelumnya dan malah salah satunya datang dari pemuda partai besar di Indonesia. Karena Needle n Bitch mengontrak tempat untuk kantornya dan teman-teman kolektif terbuka dengan teman-teman queer, maka ada kalanya kantor kolektif ini juga menjadi ruang aman atau sementara. Bahkan dalam kasus grup Whatsapp, Facebook, dan Telegram adapun screening lewat Google Form untuk memastikan tidak ada penyusup yang ingin mengusik dan menjatuhkan komunitas tertentu.
Saat kunjungan ini, salah satu partisipan Youth of Today, Amal Purnama, berbagi bagaimana ia dulu cukup sering melihat lapakan Needle n Bitch di acara publik yang makin hari tidak terlihat lagi. Padahal untuknya lapakan kolektif ini memaparkan kepadanya hal-hal berkaitan dengan feminisme dan membangun sebuah kesadaran publik. Diakui Needle n Bitch, pembahasan queer anarkis sangatlah jarang, tetapi sepertinya tidak di Indonesia saja. Namun secara pergerakan, teman-teman queer di Eropa sudah bisa terlibat langsung di masyarakat luas dan di sini masih seperti terpisah.
Kunjungan ke Needle n Bitch ini sungguh menarik untuk mengetahui bahwa di Yogyakarta ada kolektif berdikari yang sangat peduli akan isu-isu berkaitan gender. Selain Needle n Bitch, kami juga sempat berkunjung ke Biyung dan Rifka Annisa WCC. Di sini pun, sengaja maupun tidak sengaja, menjadi safe space untuk perempuan berbicara bersama, di mana Biyung memiliki kepedulian akan keberadaan pembalut dan kesehatan reproduksi perempuan, sedangkan Rifka Annisa WCC menjadi salah satu layanan penanganan kekerasan berbasis gender di Yogyakarta.
Keduanya dibangun oleh perempuan-perempuan Yogyakarta yang peduli akan keamanan dan kesehatan perempuan, namun dalam rentan waktu yang berbeda – Biyung ada sejak tahun 2011 sedangkan Rifka Annisa sudah ada sejak 1993. Saat ini keduanya menggunakan media sosial sebagai penyiar isu-isu yang menjadi perhatian mereka serta memberikan solusi-solusi dalam menghadapi isu-isu tersebut. Nama organisasi mereka juga merefleksikan kepedulian mereka di mana Biyung yang berarti ibu dalam bahasa Jawa dan Rifka Annisa yang berarti sahabat perempuan dari bahasa Arab.
Keberadaan kedua organisasi ini terlihat cukup signifikan di daerah Yogyakarta. Biyung yang awalnya terbentuk membuat pembalut kain karena kepedulian akan dampak pembalut sekali pakai terhadap lingkungan, akhirnya menemukan adanya isu period poverty atau kemiskinan/keterbatasan sanitasi saat menstruasi masih ada di sekitar Yogyakarta. Sangat miris untuk mereka mendengar masih adanya kesulitan mendapatkan pembalut sekali pakai dengan penghasilan yang tidak mencukupi. Selain itu masih banyak yang merasa membicarakan menstruasi itu seperti tabu yang dirasa terjadi karena keberadaan Orde Baru yang menahan pembicaraan hal menstruasi secara publik. Belum lagi iklan-iklan pembalut tidak pernah menampakkan darah, tetapi cairan biru.
Dengan isu itu mereka akhirnya mengembangkan workshop-workshop pembuatan pembalut kain yang disertai pengajaran tentang siklus menstruasi serta sanitasinya. Workshop ini ada yang diadakan dengan bekerja sama bersama LSM lain, organisasi lain, ataupun permintaan individu. Saat ini Biyung menjangkau di Jawa dan Papua karena koneksinya yang ada di sana. Melalui penjualan pembalut kain, sabun pembersih, booklet pengajaran tentang menstruasi, dan juga workshop berbayar, dapat menjadi penghasilan berkala Biyung dalam melaksanakan kegiatannya.
Sedangkan Rifka Annisa WCC telah membantu konsolidasi dan mediasi beragam kasus termasuk kekerasan dalam rumah tangga ataupun status berpasangan yang belum menikah, hamil di luar nikah, human trafficking, dan banyak lagi. Kegiatan sosialisasi juga dilaksanakan oleh mereka termasuk ke perkampungan dan sekolah. Adapun kegiatan-kegiatan workshop dan pembuatan karya-karya seni seperti lagu dan film yang bermaksud mengedukasi penduduk sekitar akan keberadaan isu-isu keamanan perempuan dan yang bersangkutan. Salah satu pendanaan mereka datang dari Homestay yang mereka miliki di sebelah kantornya.
Saat kita mendengar di berita bagaimana seorang perempuan selebriti akhirnya takluk pada suaminya lagi setelah mengalami kekerasan, untuk Rifka Annisa itu sudah menjadi salah satu kemungkinan hasil yang harus dihadapi. Pihak Rifka Annisa akan mendampingi sejauh mungkin akan kasus-kasus yang dilaporkan, menemui pihak keluarga bersangkutan, dan memberikan penyuluhan. Namun keputusan untuk menjadikannya pidana, perdata atau tidak, itu biasanya kembali ke yang melapor. Ada cerita yang menarik dari mereka, ketika seorang istri mengalami kekerasan dari suaminya, mereka akan bilang “Saya akan ke Rifka Annisa!” dan suami pun akan geger. Sepertinya sebegitunya Rifka Annisa sangat dikenal telah berhasil menangani kasus-kasus serupa sehingga menjadi salah satu yang terpercaya di Yogyakarta.
Percakapan-percakapan dengan kolektif dan organisasi di atas mengingatkan kembali di awal residensi kita bertemu Mashita Fandia, seorang dosen Ilmu Komunikasi UGM dan juga pendiri KANTIN, sebuah kolektif perempuan lulusan UGM yang membuat webinar rutin saat pandemi. Dalam dunia pengkajian teori, sosial, media dan budaya, Mashita juga menyebutkan bagaimana relasi kuasa dan doktrin sangatlah mempengaruhi adanya hate crime (baca: kejahatan berbasis kebencian) yang termasuk race crime (kejahatan berbasis rasisme) dan gender crime (kejahatan berbasis gender). Menurutnya, nasionalisme menjadi hal yang utama dijunjung namun sayangnya harus ada yang menjadi common enemy (baca: musuh bersama). Padahal nasionalisme tidak dibangun untuk membenci siapa-siapa, melainkan menghormati sesama bersama keragamannya.
Secara media, dengan adanya TVRI yang mendominasi, 1970-1980 merupakan puncak Orde Baru dan di saat itu digambarkanlah Pak Soeharto dan Ibu Tien sebagai orang tua dari seluruh Indonesia dengan gaya Jawa-sentrisnya yang meminggirkan yang non-Jawa. Terutama Ibu Tien dengan gaya berkebaya dan kain dengan sanggul di kepalanya, membuat representasi yang non Jawa makin minim di media massa saat itu. Ini pun yang dikenal sebagai Ibuisme. Menurut Mashita, dengan Reformasi memasuki 25 tahun, itu ekuivalennya kalau di zaman sekarang dibilang “quarter life crisis” dan sekiranya masih prematur untuk dilihat apakah berhasil atau tidak. Terlalu sering Reformasi hanya dilihat sebagai sesuatu yang sukses dan berhasil, padahal jika dilihat kembali dari cerita-cerita yang ada, Reformasi itu penuh tragedi. Mungkin tidak sebesar atau semasif peristiwa 1965, tetapi ada cerita-cerita tertentu dari berbagai daerah yang kiranya tercecer. Terutama pada dampak ekonomi dalam keluarga dan juga hate crime yang berbasis gender dan ras. Tidak terkecuali perempuan lagi-lagi menjadi target kekerasan seperti pemerkosaan.
Rasanya permasalahan pelecehan, kejahatan, maupun kekerasan berbasis gender belumlah bisa hilang dari permukaan dunia kita. Setidaknya selama residensi ini, dan dari catatan-catatan di atas yang telah tertulis, inilah yang tercetus dibicarakan bersama gerakan-gerakan perempuan dan gender di Yogyakarta. Catatan terakhir dan yang sebenarnya paling awal kita dapat lihat saat residensi adalah pertunjukan Babam bersama Kolektif Sudah Pekak Sakit Lagi “Sebab Cinta Susah Didekap” di Cemeti Institute untuk Seni dan Masyarakat. Entah, rasanya pengalaman berkunjung ke open studio Babam dan menonton pertunjukan ini yang menjadi pamungkas daripada bagian tulisan ini. Pertunjukan ini dengan puitis menyampaikan geliat dunia yang sudah pasti penuh sandiwara tetapi penuh ketragisan juga.
Pertunjukan itu menceritakan tentang Marni yang seorang drag queen. Selama pertunjukan kita jadi tahu tentang pengalaman masa kecil Marni yang dicemooh, lalu di saat dewasa menghadapi seorang militer yang meminta dirinya dipuaskan tetapi tidak takut menembak mati Marni keesokan harinya. Di malam hari dalam kamar Marni dengan kucingnya ia merenung dan malah memilih untuk tidak meneruskan hidup di adegan berikutnya. Sekelumit cerita ini tidak bisa diceritakan dengan singkat, pertunjukan yang di mana audiens ikut bergerak dengan aktor memberikan pengalaman yang sangat menarik dan mengesankan. Belum lagi kalau kita sempat datang ke open studio-nya, kita sempat berfoto dengan Photo Booth Kethok Mejik yang ternyata mengubah rupa kita menjadi Marni dan menjadi kenangan yang indah dan sedih dibawa pulang. Kita tidak pernah tahu, kita bisa saja menjadi Marni di suatu hari, dan di hari-hari yang masih ada sekiranya kita menyadari kalau kita sesama manusia sudah seharusnya melindungi sesama apapun gendernya.
[14] Needle and Bitch collective (2020) Anarka-Feminis, Yogyakarta: Gulma Press, hal. 16-18.