Yang Tak Diceritakan Kios Stempel Kilat tentang Kios Foto Kilat: Kolombo/Moses/Gejayan Era ‘90-an

— Arlingga Hari Nugroho

Tulisan ini merupakan hasil riset yang dipresentasikan dalam pameran reForward “Studi Studio: Membaca Kembali Praktik Produksi Foto Tahun 97-98” di Ruang MES 56 bersama SOKONG!.


Matahari tepat di atas kepala ketika saya berteduh di bawah tenda angkringan. Hiruk-pikuk Jalan Moses Gatotkaca, Gejayan, seperti tak pernah jenak meski sedang memasuki bulan puasa. Sebelum plakat nama Jalan Moses Gatotkaca terpampang, jalan kecil di sebelah selatan kampus Universitas Sanata Dharma (USD) pernah dikenal dengan nama Jalan Kolombo. Jalan pintas yang menghubungkan Jalan Affandi (dulu Jalan Gejayan) menuju Jalan STM Mrican itu, barangkali telah menjadi titik kumpul yang lain di tengah kota Yogyakarta.

Peristiwa Gejayan pada tanggal 8 Mei 1998 dan gugurnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USD, Moses Gatotkaca, menjadi sejarah berubahnya nama Jalan Kolombo menjadi Jalan Moses Gatotkaca. Kisah ini sekaligus menjadi memoar untuk mengenang masa pungkasnya Orde Baru menuju Reformasi, seperti yang masih sering diceritakan dari mulut ke mulut.

Ragam ruko service handphone, warung makan, penyewaan PlayStation dan DVD, seringkali menghentikan laju kendaraan sebab kebutuhan yang mendesak. Sederet motor-mobil nampak berbaris di hadapan spanduk dan papan nama ruko. Di ujung jalannya, ada kios-kios stempel kilat yang masih bertahan menyisakan cerita tentang masa lalu.

Hamparan kios ini adalah sesuatu yang berbeda, jika dibandingkan dengan ragam ruko di ujung yang lainnya. Ada lekuk bangunan yang berbeda antara kios dan ruko. Begitu pula tentang apa yang ditawarkan sebagai jasa. Dari dalam angkringan, saya melihat lalu lalang kendaraan melaju di hadapan kios Stempel Galang saat Yatno (51) sedang mengerjakan stempel orderan. 

Yatno dan kaca pembesar peninggalan studio foto afdruknya

Romansa Kios Cetak Foto Kilat

“Di sini masih sepi,” ucap Yatno sambil menunjuk Hotel Plaza di Jalan Gejayan, “Belum ada hotel, masih diskotik sama lapangan tembak dan panah, kolam renang.”

Yatno masih ingat ketika pertama kali mengambil kerja di cetak foto kilat milik kakaknya di tahun 1989. Setahun kemudian, Yatno memutuskan untuk menyiapkan kios cetak foto kilat miliknya sendiri di antara deretan kios di Jalan Kolombo tanpa ada nama untuk kiosnya. Barulah di tahun 2000, nama “Cetak Foto Galang” dipilih setelah kelahiran putranya. Nama ini yang kemudian masih terus digunakan hingga saat ini menjadi Stempel Galang.

“Rata-rata mahasiswa, sama ya ada masyarakat yang [bikin] KTP, untuk SIM,” Yatno mengenang masa-masa masih menjadi pencetak foto kilat.

Praktik fotografi di era kamera analog, sepertinya menyisakan banyak kenangan bagi sebagian orang yang pernah berkelindan di antaranya. Jumlah roll film yang terbatas, tak ada layar pratinjau hasil jepretan, hingga biaya ekstra untuk proses produksi (cetak) adalah sekelumit pengalaman yang pernah dirasakan seorang juru foto. Keluh kesah ini kemudian juga dialami oleh para pencetak foto afdruk.

Sejauh ingatan Yatno, ada beragam peralatan yang dirakit sendiri dan diperlukan untuk keperluan afdruk foto. Misalnya saja, Yatno harus menyiapkan besi pipa dan rangkaian rakitan, suryakanta (kaca pembesar), dan map plastik yang dimodifikasi dengan ukuran cetak foto. Untuk bahan cuci film atau developer, produk Superbrom dan Acifix masih jadi ramuan pilihan di kamar gelap. Belum lagi siap-sedia benang yang biasa dipakai untuk memotong kertas cetak foto.

Urusan pengeringan kertas foto, lampu petromak jadi andalan kios cetak foto kilat pada waktu itu. Paling banter kalau ada listrik, alat setrika jadi alternatif yang lebih praktis. Dari dalam kios berukuran kurang lebih 1.5m x 4m itu, para tukang afdruk punya inisiatif untuk melubangi dan menutup dengan plastik sebagian atap agar cahaya dapat menembus ke dalam kios. Ini menjadi siasat Yatno dan para pemilik kios cetak foto kilat di Jalan Kolombo untuk memudahkan proses cetak foto sesuai keperluan tanpa selalu bergantung pada listrik.

Meskipun memerlukan energi dan usaha lebih–jika dibandingkan dengan cetak printing–, tetap saja orderan yang membludak masih menjadikan kerja cetak foto afdruk menyenangkan pada masa itu. Jerih payah di era ‘90-an atas kerja keras itu kemudian jadi cerita yang menyenangkan untuk ditutur kembali, seperti ‘buku sejarah’ yang hendak diberikan kios cetak foto kilat kepada kios stempel kilat.

 

“Senengnya itu kalau pas dulu ada istilahnya Sipenmaru,” ungkap Yatno sambil tersenyum,
“Nah rame itu. Kan bareng-bareng toh, dulu sampai numpuk-numpuk film itu.”

 

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru, tak ubahnya menjadi semacam hari raya bagi para penyedia jasa foto dan cetak foto afdruk. Kios cetak foto kilat di Jalan Kolombo menjadi salah satu pilihan andalan para calon mahasiswa baru dari berbagai kampus di sekitarnya.

Di era ‘90-an, Yatno masih ingat betul bagaimana dirinya berusaha trengginas melayani orderan yang masuk dari para pendaftar perguruan tinggi. Kemudian ada pola kerja yang harus diubah dan disesuaikan dengan permintaan yang melebihi kemampuan pengerjaan, misalnya mengubah jam operasional. Perlu kerja ekstra untuk mampu melayani pesanan cetak foto kilat di masa itu.

Lain halnya seperti yang diceritakan oleh Daniel Julianto (31), seorang yang lebih muda di antara kawanan pembuat stempel di Jalan Moses Gatotkaca. Daniel merupakan generasi kedua yang masih melanjutkan unit usaha keluarga di salah satu kios deretan tersebut. Meskipun tak mengetahui secara pasti sebermulanya, tetapi Daniel mencoba menceritakan bagaimana perjuangan bapaknya, Sumardi (almarhum), menjalankan kios cetak foto kilat seperti yang pernah didengarnya dalam keluarga. “Bapak itu buka [kios] di sini zaman tahun ‘85 atau ‘86,” ucap Daniel sembari mengingat.

 

“Usahanya cetak foto pakai petromak,” imbuhnya.

 

Daniel beruntung, semasa kecil selalu diajak bapak untuk bermain di sekitar kios yang membuatnya cukup familier dengan peralatan potret-memotret dan cetak-mencetak afdruk waktu itu. Menurut penuturan Daniel, kios Sumardi Foto milik bapaknya, juga melayani jasa potret dadakan untuk keperluan administrasi, selain cetak foto afdruk. Ada background berwarna merah, biru, dan abu-abu yang menggantung di dinding kios jika sewaktu-waktu dibutuhkan sesuai permintaan.

Suryakanta atau kaca pembesar

Di Antara Kerumunan Demonstrasi

Momentum demonstrasi mahasiswa di tahun 1998 di Yogyakarta, tidak hanya menjadi cerita para aktivis dan mahasiswa yang berdiri di garis depan. Begitu juga halnya dengan para pencetak foto kilat yang membuka lapakannya di seputar wilayah Gejayan. Selain Jalan Boulevard UGM, nama Gejayan sering kali disebut-sebut sebagai titik pusaran demonstrasi di masa itu. Kios cetak foto kilat Jalan Kolombo pernah menjadi barisan non-kombatan yang menyaksikan benturan di antara mahasiswa dan aparat sepanjang Jalan Gejayan.

“Waktu demo itu [kios] udah pada tutup. Kan penuh [orang] toh di sini,” kata Yatno, “Tapi [pemilik] masih tetap di kios, tapi tutup.”

Cara ini dipilih oleh Yatno dan para pemilik kios untuk menghindari hal buruk yang sewaktu-waktu dapat menyambar keselamatan jiwa. Di antara kerumunan demonstrasi, pengalaman buruk di masa itu pernah mengingatkan para pemilik kios cetak foto kilat. Ada kisah tak menyenangkan ketika salah satu di antara mereka terkena lemparan batu, dipukul aparat, hingga digiring dan diamankan oleh aparat.

Entah dalam aba-aba yang sama atau tidak, di momen itu, setiap orang punya cara bertahan sendiri-sendiri ketika menghadapi situasi yang mencekam. Apa yang disampaikan Yatno juga diingat Daniel yang masih kecil pada waktu itu. Kadang kala di masa demonstrasi itu, bapaknya juga harus menutup kios lebih awal. Dari situlah, praktik mencetak foto kemudian terpaksa harus dibatasi, meskipun ada saja orderan cetak foto yang masuk di kemudian hari.

“Buka setengah hari, terus ini kan ada yang keamanan di sini, disuruh tutup semua,” kenang Daniel.

Antara Yatno dan Daniel, merasa tak bisa selalu menebak secara pasti kapan demonstrasi akan dimulai dan berakhir seperti apa. Para pemilik kios cetak foto kilat lainnya, kemudian memilih untuk menjadi penikmat peristiwa sembari mengamankan diri dari lemparan batu. Sehabis itu, biasanya dalam hitungan hari kondisi kembali kondusif dan kios cetak foto kilat kembali melakukan kerja-kerjanya.

Daniel Julianto dan kios stempel peninggalan keluarga

Berakhirnya Cetak Foto Kilat, Menuju Stempel Kilat

Di masa transisi ketika kamera analog dan selingkup praktik cetak fotonya tak lagi menjadi pilihan yang ampuh, Yatno terpikir untuk mengambil ancang-ancang mengantisipasi perkembangan zaman yang berubah. Di awal tahun 2000-an, menurutnya adalah momen di mana kamera digital mulai melahap praktik fotografi sebagian orang. Alih-alih mengikuti tren cetak print (digital printing), Yatno justru tertarik untuk belajar membuat stempel.

 

“Cetak foto sudah nggak laku, sudah nggak bisa untuk hidup,” celetuk Yatno.

 

Berbekal ilmu yang diajarkan oleh seorang teman, Yatno memutuskan mengakhiri usaha cetak foto kilat dan menggantinya dengan kios bernama Stempel Galang di tahun 2005. Yatno mengakui bahwa saat itu, Stempel Galang merupakan kios pertama yang hijrah meninggalkan cetak foto kilat di antara kios lainnya di Jalan Moses Gatotkaca.

Sedikit berbeda dengan perjalanan kios cetak foto kilat milik Yatno, Sumardi Foto sempat menjajaki peruntungan dengan layanan cetak foto printing. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Daniel telah ikut mengambil peran bekerja di kios cetak foto bapaknya. Kios peninggalan keluarganya itu terpaksa harus berhenti cetak dan beralih fungsi menjadi kios stempel di tahun 2016/2017.

Selain disebabkan oleh arus deras zaman yang meninggalkan praktik fotografi kamera analog, ada juga beberapa faktor lainnya seperti politisasi kertas foto atau bahan afdruk dan dampak kebijakan rezim di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Persoalan yang pertama, Yatno maupun Daniel mengatakan di tahun 2000-an para pemilik kios cetak foto kilat jalanan tak lagi mendapatkan akses penuh kertas foto dan bahan afdruk untuk dibeli. Meskipun tak menjelaskan secara detail, menurutnya hambatan ini dicurigai bermuara dari studio foto mapan yang membatasi akses distribusi jual-beli keperluan cetak foto untuk para kios cetak foto kilat.

“Semenjak digital printing muncul, [bahan cetak] jadi berkurang, terus tutup,” tutur Daniel, “Semenjak digital printing ada, itu udah nggak dijual.”

Sebelumnya, para pemilik kios cetak foto kilat sering membeli kertas foto dan bahan afdruk di beberapa studio foto ternama di Yogyakarta dengan harga terjangkau. Namun setelahnya, biaya produksi cetak menjadi soal hitung-hitungan yang terbilang mahal jika dibandingkan dengan digital printing. Praktik memotret menggunakan kamera analog, mau tak mau kian berkurang ketika arus tren kamera digital dan handphone lebih mendukung pekerjaan sehari-hari. Arus tersebut kemudian menenggelamkan eksistensi cetak foto kilat.

Persoalan kedua, tak bisa dilepaskan dari dampak kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara tak langsung, ada semacam titik tolak yang sama dari apa yang dilakukan oleh para veteran kios cetak foto kilat yang beralih menjadi kios stempel kilat. Ini merupakan dampak dari kebijakan yang pernah digaungkan oleh pemerintah.

Seperti yang diungkapkan Daniel, pada masa itu kebijakan yang memperbolehkan penggunaan stempel cap basah dalam dokumen berharga mulai membuka peluang lainnya. Surat menyurat dan kerja administrasi yang sebelumnya dominan memakai materai, seketika berbondong-bondong beralih hanya menggunakan stempel cap basah.

“Kalau Pak SBY kan ngesahinnya [boleh] ada tinta di atas kertas, walaupun nggak ada materai, sah,” pungkas Daniel.

Spanduk stempel kilat di sepanjang Jalan Moses Gatotkaca

Sejauh penelusuran, apa yang disampaikan oleh Daniel juga berkaitan dengan aturan tentang penggunaan stempel perusahaan. Di suatu waktu, perusahaan atau kantor biasanya menjadi pemesan langganan untuk pembuatan stempel di kios stempel kilat. Penggunaan stempel perusahaan terkandung dalam beberapa peraturan pemerintah, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, atau Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.03/2007, dan sebagainya.

Dari situlah, kemudian jejak kios cetak foto kilat di Jalan Kolombo berganti dengan deretan kios stempel kilat seperti yang bisa dilihat hingga hari ini. Papan nama kios stempel telah tergantung dan display stempel manual telah dipajang dalam lemari kaca. Namun ingatan dan dinding kios yang bergeming, meninggalkan cerita yang sama tentang cetak foto kilat di era sebelumnya.

Jalan Kolombo ataupun Jalan Moses Gatotkaca akan selalu memberikan ruang bernapas sepatutnya, kala itu dan hingga hari ini kepada para pemilik kios. Apa yang tak diceritakan kios stempel kilat tentang cetak foto kilat perlahan terus menubuh di sepanjang jalan. Keduanya, selalu dihadapkan dengan persimpangan yang sama: mengikuti arus atau tersapu zaman. 

 

14 April 2023

Unduh publikasi digital lengkap SOKONG! Edisi reForward di sini
Ilustrasi sampul dan foto oleh Akwila Chris Santya Elisandri