Perihal Pertanyaan-pertanyaan yang Menyertai Perjalanan
— Dito Yuwono (Direktur Artistik Ruang MES 56)
Tulisan ini merupakan rangkaian dari seri tulisan #20MES56, perayaan 20 tahun Ruang MES 56 yang diselenggarakan sepanjang tahun 2022.
I
Saya ingin membawa kita kembali ke tahun 2019, tahun di mana kami –Ruang MES 56– berusia 17 tahun. Tahun tersebut, kami memiliki satu pertanyaan besar terkait arah kami selanjutnya, yang secara sederhana (dan tentunya dengan pendekatan humor persimpangan logika antar bahasa) kami terjemahkan dalam kalimat “We Go Where We Now”. Kalimat ini pun kemudian menjadi tajuk dari pameran tunggal kami yang diselenggarakan di akhir tahun tersebut.
Saat itu, merefleksikan apa yang telah kami alami sebagai upaya membaca sekaligus merancang masa depan, tampak mungkin untuk dilakukan. Dunia berubah namun tidak dramatis, dengan berbekal pengalaman 17 tahun dan tentunya penyesuaian kanan-kiri sedikit, jalan di depan tampak lurus, dan sederhana.
Tahun 2020 datang, tepat tiga hari selepas kami merayakan ulang tahun ke-18, kasus Covid-19 pertama di Indonesia disiarkan. Selanjutnya, penutupan berbagai aktivitas sekaligus krisis skala makro atau global terjadi, yang tentunya mempengaruhi kehidupan kami secara kolektif maupun individu. Bayangan atas menjawab pertanyaan yang kami lontarkan di tahun sebelumnya menjadi semakin berat. Tidak saja karena krisis ini mempengaruhi alam pikir kami, tetapi juga krisis ini mementahkan beberapa hal yang awalnya kami percayai sebagai pengetahuan atas pengalaman sebagai kolektif: berkumpul sebagai strategi membagi maupun memproduksi pengetahuan bersama.
Krisis ini rupanya menantang hasrat berkumpul tersebut; pertemuan dalam kelompok lebih dari 4 orang dianggap akan membahayakan jiwa karena akan mempercepat persebaran wabah baru yang belum ditemukan penangkalnya. Fase awal adalah yang terberat karena percampuran berbagai perasaan dalam satu waktu yang sama; kecemasan dan ketidaktahuan atas apa yang sedang terjadi, bagaimana menghadapinya, dan spekulasi atas masa depan yang tampaknya akan berbeda jauh dari apa yang dibayangkan di tahun sebelumnya.
II
Di tengah segala perasaan campur aduk tersebut, kami memulai program secara perlahan-lahan, dengan cara yang kami pahami. Sebagian dari kami memulai dari hal yang paling dibutuhkan saat itu, yaitu membangun program solidaritas berbasis pembagian masker –sesuatu yang sangat dibutuhkan sebab kelangkaan masker terjadi pada fase awal krisis pandemi– bersama dengan berbagai pihak.Dikerjakan dalam kelompok terbatas sebagai upaya menghindari kerumunan dalam pengendalian laju pertambahan kasus Covid-19, program “…And Mask For All” ini digerakkan dengan tujuan menjangkau siapapun yang membutuhkan masker. Perlahan, program ini memicu munculnya program lain, seperti “Dapur Umum Kolektif” yang berfokus pada distribusi makanan bagi kelompok seni maupun individu yang terdampak. Di sisi lain, sebagai upaya memenuhi kebutuhan operasional kolektif yang semakin berat, kami pun berupaya beradaptasi dengan menyelenggarakan program-program kelas berbasis internet; “Back-to-Back Online Classes” yang cukup membantu kami dalam memenuhi operasional bulanan.
Melihat aktivitas penciptaan seni dan pameran yang absen selama beberapa bulan setelah dihantam krisis pandemi, kami pun terpicu untuk menggelar pameran pertama di tahun tersebut di akhir September 2020. Kehadiran pameran ini sebagai upaya untuk mencari strategi dalam penyelenggaraan pameran seni sekaligus menguji praktik penciptaan seni yang telah kami lakoni dalam konteks pasca-pandemi, baik secara kelompok maupun individu.
Program pameran ini kemudian juga kami lihat sebagai usaha untuk mengembalikan kepercayaan atau harapan atas penyelenggaraan pameran secara langsung; untuk bertemu, mengalami, dan tak termediasi oleh layar sebagaimana pada saat tersebut wacana pameran daring dianggap sebagai opsi yang sangat populer dan dianggap sebagai satu-satunya opsi. Selanjutnya, berbagai tawaran untuk menjalin kerjasama pameran pun bersambut dan setidaknya dalam tiga tahun ini, kami mengerjakan program pameran bersama, di mana di antaranya melibatkan jaringan lintas negara, seperti Jepang (TERATOTERA Festival 2020, Hotel Asia Project) dan Nigeria (Iwaya Community Art Biennale Lagos 2021).
Fase 2020 hingga 2022 menjadi rentang waktu yang berat namun tak kehilangan harapan. Ajaibnya, dua tahun tersebut membuka berbagai peluang khususnya yang terkait dengan upaya membangun ekonomi mandiri dan berkelanjutan yang cukup signifikan. Dari sisi program, upaya membangun kembali harapan atas hadirnya penyelenggaraan pameran langsung atau yang telah akrab dengan sebutan “luring” pun terwujud dengan terselenggaranya kurang lebih 10 pameran luring. Ada pula aktivitas publik lainnya seperti “Seri Bincang Seniman” yang disiarkan langsung (daring), maupun bentuk presentasi lainnya. Meski situasi tidak akan sama dengan sebelumnya, namun dengan penyesuaian kanan-kiri, hal-hal yang awalnya terasa nyaris tidak mungkin menjadi lebih memungkinkan.
III
Tahun 2022 menjadi penanda penting untuk kami, Ruang MES 56, karena pada tahun ini kami merayakan hari jadi ke-20. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kami tak membuat perayaan khusus di hari ulang tahun kami. Kami memilih untuk membentangkan durasi perayaan ke dalam serentetan peristiwa dan membungkusnya dalam tagar #20MES56. Kami tidak saja sekadar merayakan, tetapi juga memperkuat kembali ikatan-ikatan kami dengan berbagai teman ataupun kolega yang telah menemani perjalanan kami selama ini, sekaligus menjadi kesempatan baru untuk mempertemukan kami dengan pertemanan baru di masa depan.
Kami memulai perjalanan #20MES56 dengan dibukanya sebuah pameran bertajuk “Surveying Surfacing” pada bulan Maret 2022. Pameran ini bekerja sama dengan Galeri Ruang Dini (Bandung) selaku penyelenggara dan Indeks (Bandung) selaku kurator. Saat ini, kami pun sedang merancang beberapa program publik di berbagai tempat yang harapannya dapat mempertemukan kami pada situasi-situasi baru dan membawa kami pada guliran-guliran kesempatan yang tak terduga. Sedikitnya ada tiga program pameran yang akan kami gelar sebagai bagian dari agenda rutin program tahunan kami, yaitu “Postscript/Notabene”, “Re-Forward”, dan “Legal Artist Series”.
Perihal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang turut menyertai perjalanan kami selama 20 tahun, tentunya bukan perkara mudah. Setiap saat, pertanyaan berubah seturut dengan laku zaman yang juga berubah. Setelah dua tahun mengalami fase krisis pandemi dan menyadari banyak hal yang tidak lagi sama selayaknya kehidupan pra-Covid-19, kami hanya bisa membayangkan dan berharap jika tahun-tahun berikutnya akan dipertemukan dengan pertemanan baru dalam kemungkinan-kemungkinan yang baru pula. Toh, pada akhirnya hal yang paling kami kuasai adalah kemampuan untuk berkumpul dengan teman, baik sakadar nongkrong maupun melalui berbagai penyelenggaraan peristiwa. Jadi, untuk yang satu ini, susah untuk kami menyerah dengan segera pada keadaan.