Leftover Images: Negative is an Image
— Afdruk 56
Teknologi analog dalam fotografi memberikan momen fenomenologis bagi pelakunya, yaitu sebuah rangkaian proses panjang: mekanikal-kimiawi sampai tercipta sebuah imaji. Reproduksi imaji inilah yang disebut citraan, yang selama ini digeluti oleh fotografi itu sendiri.
Dalam khazanah fotografi populer di Indonesia, bisa dikatakan bahwa masa senja fotografi analog telah terlihat sejak lebih dari satu dekade yang lalu dan tergantikan dengan teknologi digital. Fotografi digital dianggap lebih efisien dan praktis bagi penggunanya. Bagi sebagian generasi muda, teknologi fotografi analog hanya dikenal sebagai gerakan masa lampau. Hal tersebut membuat kurangnya pengetahuan terhadap fotografi analog terutama proses panjang produksi-reproduksinya.
Meskipun saat ini generasi muda (pegiat fotografi awalan) kembali lagi dengan rasa penasaran untuk mengenal fotografi analog, tapi sebagian di antaranya sering kali merasa “selesai” ketika imaji yang mereka buat dengan kamera mekanikal itu tuntas terunggah di sosial media. Dampaknya, artefak negatif film mereka banyak yang ditinggal di laboratorium karena dianggap tidak penting lagi. Bayangkan, artefak itu kemudian dipegang bukan oleh pemilik aslinya.
Studio Afdruk 56, sebagai laboratorium cetak fotografi analog yang beririsan dengan seni rupa, antropologi, sejarah dan sosiologi, kemudian berusaha menelusuri serpihan cerita ini dalam proyek seni bernama Leftover Images.
Fotografi sebagai Fosil
Artefak-artefak fotografi analog termasuk negatif film kemudian hari tersebar dalam dua kutub. Pertama, artefak itu diwariskan ke ahli warisnya untuk dijaga. Hal ini biasanya karena keluarga tersebut memiliki pengetahuan tentang fotografi dan kesadaran untuk mengarsipkan dokumentasi keluarga. Kedua, artefak tersebut terserak di tangan orang lain atau tempat lain, entah itu dibuang atau dijual atau dihibahkan ke orang lain dengan berbagai macam alasan.
Beberapa tahun belakangan ini, lab cuci film kembali bangkit, Mesin Noritsu tua pun kembali bekerja setelah direstorasi. Penyedia jasa kebanyakan memberikan hasil film yang sudah di-scan melalui cloud sharing. Pilihan untuk tidak mencetaknya justru menghilangkan sisi intim menyentuh artefak negatif film. Ini juga jadi salah satu contoh mengapa akhirnya konsumen yang belum paham, memilih meninggalkan filmnya di lab cuci film ketimbang meyimpannya. Akhirnya ribuan sisa film bertebaran di lab-lab cuci film dan beberapa lab memilih memusnahkannya setelah setahun disimpan.
Persoalan ini umum terjadi di kalangan pegiat fotografer awalan karena melihat esensi fotografi hanya pada hasil akhir yaitu wujud dan berkas digitalnya. Wujud atau cetakan dan berkas digital masih banyak yang dijaga karena sifatnya yang kasat (mudah dipegang, dilihat, dan disimpan). Satu objek yang penting dan terlewatkan adalah negatif film. Karena sifat gambar yang samar dan butuh proses untuk menampilkan gambarnya, artefak negatif film terpinggirkan, atau kami lebih suka menyebutnya, “Usai sudah janji bakti negatif film”.
Menjadi Arkelog Visual
Setelah membuat kamar gelapnya di sebuah ruang bekas toilet di gudang belakang MES 56, Afdruk 56 lantas memulai sebuah proyek seni di awal 2017. Enlarger khusus film hitam-putih hasil hibah kawan dari Malang kami gunakan di kamar gelap. Di tempat itulah kami mulai bereksperimen melakukan cetak mencetak dengan menggunakan beberapa teknik alternatif. Kesenangan itu yang akhirnya menggiring kami untuk mengumpulkan negatif film yang bisa kami cetak. Hal tersebut membuat kami seolah-olah menjadi seorang “arkeolog”, yang menggali dan mencari negatif film, terutama film-film yang tak diketahui kepemilikannya. Bahkan, potret dalam negatif tersebut tidak pernah kita kenal.
Pertama kali negatif itu ditemukan di salah satu toko barang antik yang ada di Surabaya. Dua roll film monochromatic yang sudah ter-develop oleh studio Superfoto. Studio Superfoto merupakan studio foto legendaris di bilangan Jalan Kaliasin, Surabaya yang sudah tutup beberapa dekade lampau. Salah satu koleksinya yaitu serangkaian foto keluarga liburan ke Bali di tahun 1970-an. Dari situlah hasrat kami untuk lebih banyak mengumpulkan dan menyelidiki apa yang ada di dalam negatif film lainnya.
Lalu kami mulai berburu dari pasar ke pasar, klitikan ke klitikan, maupun festival ke festival, sebab memang negatif film bukan barang yang mudah untuk dinikmati. Belum lagi sulit dikenali karena hanya imaji monokrom yang terbalik. Kebanyakan pedagang memang tidak memajang di lapaknya. Saat itu kami hanya dapat beberapa buah negatif ukuran medium dengan bahan plat kaca.
Dari negatif seluloid kemudian kami dapatkan negatif plat kaca yang jelas era produksinya lebih tua. Layaknya menaiki mesin waktu kala malam itu. Dari waktu ke waktu, kita menggali informasi di mana mendapatkan negatif plat kaca itu lebih banyak lagi.
Di Yogyakarta, sebuah lapak buku dan komik bekas di salah satu lantai di pasar Beringharjo berhasil kita satroni. Kami bertemu empunya lapak bernama Pak Wid. Beliau ternyata menyimpan banyak negatif film dari ukuran medium format. Yang menyenangkan, dia menyimpan koleksi negatif plat kaca dalam jumlah yang cukup banyak dengan harga yang lumayan murah, seharga beberapa batang rokok per film kala itu. Alhasil kami menjadi pelanggan setia lapak Pak Wid. Setiap ada rejeki lebih, lapak beliau pasti kami satroni.
Pasar-pasar barang bekas memang menjadi penghubung beragam artefak lawas. Selain Pak Wid, kami juga mendapatkan ribuan negatif yang dijual borongan oleh Pak Toni di sebuah pasar tiban, atau Pasar Kangen namanya.
Karena gemar mengoleksi dan mempresentasikan hasil kerja cetak-mencetak itulah kemudian mendorong kami untuk menunjukkan ke masyarakat yang lebih luas dengan melalui open studio yang diselenggarakan di Ruang MES 56. Menariknya, terjadi interaksi di dalamnya. Selain diskusi ringan, beberapa teman menghibahkan koleksi filmya kepada kami. Salah satunya kawan kami dari Semarang bernama Andika Yogi yang mengirimkan foto portait keluarga dan foto pernikahan dalam negatif plat kaca berukuran besar.
Untuk pertama kalinya praktik ini diundang untuk dipresentasikan pada pameran Analog Weekend di The Annual Bandung Photography Month 2017. Pameran ini berlangsung di Bandung dan dihadiri oleh para pegiat fotografi analog. Sebuah pameran fotografi yang cukup unik, sebab diselenggarakan di dalam bus pariwisata yang diparkir di halaman Gedung Sate.
Kami merespon ruang pamer dengan mengunakan dua buah koper besar yang kami ubah menjadi light box, berfungsi sebagai media untuk mempresentasikan atau mengkurasi negatif film di kamar gelap (atau lab). Selain itu, beberapa album foto hasil cetakan kami juga kami presentasikan. Teknik presentasi yang kami anggap menarik karena cukup relevan dengan gagasan pamerannya. Kami merasa saat itu seperti pengelana waktu yang membawa dua koper besar dengan arsip-arsip kuno yang terjebak di zaman kekinian.
Selain membuka studio dan membawa gerobak afdruk foto kilat, di pameran ini kami juga menyiapkan lokakarya cetak foto analog. Dalam lokakarya tersebut, kami meminta para peserta untuk membawa negatif filmnya sendiri, pun kami juga menyediakan leftover images untuk dicetak bersama. Setelah proses mencetak selesai, para peserta diminta membuat narasi tulisan dari setiap cerita yang ada dalam arsip foto pilihan mereka.
Seperti yang dicetak oleh Bangkit Widiyanto, partisipan dari Sewon, Bantul. Dia membawa arsip negatif film yang difoto oleh ayahnya. Foto itu adalah foto keluarga di pekarangan rumah yang tidak terlalu direncanakan. Film hitam putih 35mm berhasil mengabadikan momen masa kecil keluarga Bangkit.
Praktik kerja Afdruk 56 salah satunya adalah proyek seni pengarsipan negatif film. Hingga hari ini, Afdruk 56 masih mengoleksi negatif film dengan berbagai format yang dikurasi untuk dicetak serta dibiayai secara mandiri. Bagi Afdruk 56, negatif film dan hasil cetaknya memiliki nilai sejarah dan sosial yang penting untuk mempelajari manusia dan peristiwa di masa lampau.
Lebih jauh, proyek seni Leftover Images barangkali bisa jadi pijakan untuk mengkaji perkembangan teknologi dan sistem korporasi yang nyatanya mampu mengubah perilaku masyarakat dan menyingkirkan ingatan.