Burmese Photographers: Burma dan Jejak Fotografi yang Tercecer

— Arlingga Hari Nugroho

Judul Buku: Burmese Photographers
Penulis: Lukas Birk
Tahun: 2018
Penerbit: Goethe-Institut Myanmar
Fotografer: U Kywat, Asia Studio, Har Si Yone, Bellay Photo Studio, Teza Aung, U Than Maung, U Sann Aung

Bisa jadi bentuk peradaban terbaru yang kita temui hari ini merupakan serpihan-serpihan dari masa lalu. Beberapa hadir di depan layar, sisanya tercecer di pinggir jalan. Fotografi hadir tidak hanya untuk membekukan momen, tetapi juga berfungsi menghidupkan kembali “gerak cerita” yang mulai tergerus ingatan dan zaman.

Seorang fotografer dan arsiparis asal Austria, Lukas Birk, telah mengumpulkan lebih dari 20.000 foto sejarah Myanmar sejak menekuninya pada tahun 2013. Birk menyebut pengarsipan ini dengan nama Myanmar Photo Archive (MPA), yaitu sebuah upaya mengumpulkan arsip foto, menafsirkan kembali, dan menceritakan kisah sejarah fotografi Myanmar. Myanmar Photo Archive merupakan arsip fotografi yang terdiri dari potret studio, album foto pribadi, fotografi resmi, catatan perusahaan, fotografi penelitian ilmiah, gambar dokumenter serta aksesoris studio, film slides, dan negatif film.

Mungkin saja kerja-kerja pengarsipan telah banyak dilakukan oleh kaum arsiparis dan intelektual di berbagai tempat, tetapi memilih Myanmar sebagai medan pengarsipan fotografi tentu memaksa seseorang untuk berpikir dua kali. Sebab Burma atau Myanmar yang kita kenal hari ini menempel riwayat sejarah yang kelam dan terlupakan.

Dalam buku Burmese Photographers, Lukas Birk mengelompokkan arsip foto dalam 17 bab dengan menampilkan foto-foto pilihan dari arsip MPA. Pada beberapa bagian, Birk menyusun narasi dan foto berurutan sesuai dengan keterangan waktu peristiwa sejarah. Maka dengan membaca buku Burmese Photographers, pembaca seolah diajak untuk kembali memungut sejarah fotografi Burma yang tercecer.

Yang Tercecer dari Burma menuju Myanmar Hari Ini

Kegiatan produksi fotografi pertama di Myanmar hadir pada rentang waktu tahun 1855. Pada periode awal ini, fotografi masih dikerjakan oleh golongan tertentu, utamanya warga negara non-Burma. Dalam bab berjudul The First Burmese Photographers dikatakan seorang ahli bedah British Army, John McCosh, menjadi penanda awal yang mencoba mendirikan klub fotografi amatir pada tahun 1855 di Mawlamyine. Selanjutnya, beragam fotografer lintas negara datang dan mengabadikan momen peradaban masyarakat Burma.

Hiruk-pikuk Perang Dunia II di Burma tak lepas dari lensa fotografer. Kehadiran koloni Inggris yang menguasai dataran Burma pada tahun 1885 hingga kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948 menjadi bidikan lensa. Birk tak lupa untuk menghadirkan bab berjudul Towards Independence yang menampilkan beragam arsip foto masa perang hingga kemerdekaan Myanmar. Di antaranya terdapat foto ledakan bom Jepang di kawasan Yangon pada tanggal 23 Desember 1942. Ada pula potret diri Jenderal Aung San, seorang jenderal-revolusioner nasionalis sekaligus politisi Burma yang turut menyusun usaha kemerdekaan Burma. Potret pengibaran bendera nasional pada upacara kemerdekaan Myanmar untuk pertama kalinya juga tak lepas dari tangkapan lensa.

Selanjutnya, budaya fotografi di Burma perlahan mulai menembus keseharian masyarakat. Tidak hanya berorientasi pada dokumentasi peristiwa besar, tetapi fotografi dalam ranah yang lebih sempit mulai berkembang menyentuh teknik dan fungsi yang beragam. Berawal dari dokumentasi perang, foto menjadi kebutuhan administrasi. Misalnya saja pada bab The Transformation 1948 – 1962, pada periode ini foto diri mulai digunakan sebagai identitas resmi dalam kartu tanda pengenal. 

Paruh waktu tahun 1970-an, seni fotografi Myanmar mulai menggunakan medium studio sebagai sarana mengabadikan suatu objek. Seni fotografi di Myanmar mulai berkembang kembali. Tidak hanya bagi “tukang foto”, melainkan juga objek foto dan konsep model turut berkembang. Model foto mulai berpose menggunakan jeans, topi cowboy, dan pose yang lebih “tidak malu-malu”, seperti yang ditampilkan dalam bab berjudul 1970 in the Studio.

Meskipun begitu, era tersebut tidaklah meledak seperti pada dekade selanjutnya yang mulai menghasilkan cetak foto berwarna. Dreams in Colour, menjadi pilihan judul bab yang tepat untuk menggambarkan masa transisi fotografi Myanmar. Sebagai catatan, Lukas Birk menjelaskan bahwa teknik cetak foto berwarna sudah pernah dicoba dalam eksplorasi sebelumnya oleh pegiat fotografi Burma, akan tetapi masih terkendala oleh biaya produksi yang cukup tinggi. Hingga setelah tahun 1970-an, foto berwarna menjadi tren dan masif di masyarakat dengan ditandai penggunaan latar belakang (backgroud) berupa gambar lanskap berwarna dan tata busana model yang mulai nyentrik.

Hingga kini, seni fotografi di Myanmar terus berkembang. Tidak hanya dalam ranah kesenian, tetapi bergandengan tangan dengan jurnalistik, advertensi, dan sebagainya. Eksplorasi teknik dan konsep terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Beragam cerita mampu hadir dalam medium sepotong foto. 

Edisi pertama buku Burmese Photographers diproduksi sebanyak 500 eksemplar oleh Goethe-Institut dan diterbitkan di Myanmar. Buku ini telah menjadi arsip penting bagi seni fotografi di Myanmar. Buku Burmese Photographers karya Lukas Birk ini dapat ditemukan dan dibaca di perpustakaan Ruang MES 56, Yogyakarta.

 

*) Foto sampul: Auung San Suu Kyi during her pre-election campaign in 2012, by Pyay Kyaw Myint