Bagaimana Jika Komunitas Hadir dengan Imajinasi Liar atas Ruang Publik?

— Yayasan Tonjo Foundation

Tulisan ini merupakan catatan Yayasan Tonjo Foundation dalam menyiapkan kerangka berkesenian yang melibatkan beragam kolektif di tahun 2022.

Terhitung sepanjang tahun 2021 hingga saat ini, kami turut serta nongkrong di Studi Kolektif Gudskul # 4. Studi Kolektif Gudskul sendiri merupakan program belajar dan berbagi selama 1 tahun yang terbuka bagi beragam komunitas dalam lingkup seni.

Pertemuan dalam jaringan yang dikelola oleh Gudskul, mempertemukan kami dengan kolektif-kolektif lintas wilayah, seperti Omnispace dari Bandung (Indonesia), Pangrok Sulap (Malaysia), Load Na Dito (Filipina), Salikhain Kolektib (Filipina), ba-bau AIR (Vietnam), Scutoid Coop (Taiwan), dan Bishkek School of Contemporary Art (Republik Kirgiz). Pada salah satu sesi kelas, kami kedatangan Asia Art Archive (AAA) yang hadir sebagai pemateri. Hal yang menarik, AAA memberikan beberapa contoh studi kasus dari dokumen arsip yang mereka punya untuk kami gali dan jadikan bahan berkarya bagi setiap kelompok yang ada di lingkaran studi kolektif ini.

Xia Men Da Da Burning Incident (arsip AAA)

Singkat cerita, kami memilih studi kasus Xiamen Dada, sebuah gerakan seni rupa yang bisa dibilang radikal dan progresif pada tahun 1980-an di Tiongkok. Melalui studi kasus tersebut, kami menemukan tiga hal penting yaitu kesempatan (privilege), dokumentasi, dan ruang publik. Pertama, kami berpikir bahwa apa yang dilakukan Xiamen Dada merupakan sebuah kesempatan yang tidak semua pelaku seni mampu melakukannya, misalnya saja seperti membakar karya seni mereka sendiri. Kedua, arsip dokumentasi foto maupun artikel yang ada di web AAA menjadi ketertarikan kami. Ketiga, ruang publik seperti lanskap tanah dan gedung bertingkat dipilih menjadi ruang di mana karya ikonik tersebut didokumentasikan.

Setelah melihat arsip-arsip Xiamen Dada, lantas timbul banyak pertanyaan dalam pikiran kami. Apakah mereka mabuk sebelum membakar karya? Siapa yang membeli bensin? Lalu siapa yang menyulut api? Lalu sesudahnya, siapa calon orang kaya yang menyimpan abu bekas pembakaran karya? Bagaimana reaksi orang-orang di sekitar? Atau, hal apa saja yang terjadi selain yang terekam dalam lensa kamera?

Kerangka kerja Yayasan Tonjo Foundation (dok. Tonjo)

Syahdan, kami memanifestasikan ketiga temuan tadi menjadi sebuah kegiatan. Dalam aktivasinya, kami menggandeng kawan-kawan lintas disiplin di Jogja dan sekitarnya seperti Ufuk, Serikat Seroja, Indisczinepartij, Sudut Kantin Project, dan lainnya. Nantinya, hasil dari proyek ini juga akan kami pamerkan di perpustakaan Asia Art Archive, Hong Kong.

Kami memilih sebuah tempat bekas pengolahan limbah air kota Jogja yang terletak di area kampung wisata Taman Sari, Patehan, tepatnya di belakang Pasar Ngasem. Warga setempat menyebut tempat ini dengan nama BTKL. Tempat tersebut kini menjadi lahan parkir kendaraan bagi pengunjung maupun warga sekitar.

Ruang BTKL (Google Earth)

Kami tertarik dengan ekosistem yang berkelindan di BTKL, misalnya saja seperti aktivitas keseharian warga di sekitar pasar dan tempat wisata. Kami mengulik sejarah dan cerita-cerita perihal ruang BTKL itu sendiri bersama warga sekitar. Seperti sebuah kebiasaan bagi kami, praktik kerja ini kami lakukan secara bersama-sama dengan kawan-kawan tadi. Kami bersama-sama berkumpul dan berkenalan satu sama lain di BTKL.

Salah satu ruang terbengkalai di BTKL (dok. Tonjo)

Kami memberikan kesempatan kepada kawan-kawan untuk bermain-main merespon ruang dengan cara apapun atas tempat itu, termasuk tidak melakukan apa-apa. Tak lupa kami juga berkunjung ke perpustakaan dan pusat arsip daerah untuk kebutuhan arsip tulis atau gambar. Ide besarnya lagi-lagi pada konsep redistribusi, hanya saja yang didistribusikan kali ini adalah kesempatan, bukan uang maupun barang.

Observasi ruang BTKL bersama komunitas (dok. Tonjo)

Kami menargetkan proyek ini akan digelar pada akhir bulan Mei tentunya sesuai kesepakatan bersama. Pada gelaran ini nantinya tiap komunitas akan merespons ruang dengan imajinasi yang liar. Gelaran itu kami abadikan dan selanjutnya kmai hadirkan pada bulan September 2022 di Asia Art Archive.

Kami menyiapkan beberapa output seperti tiga video fiksi, rilisan tulisan, dan beragam visual/ilustrasi yang nantinya akan dipasang pada pilar-pilar yang ada di perpustakaan AAA. Tiga sisi pilar kami sediakan untuk video dokumentasi, pilar lainnya kami isi dengan terbitan tulisan dan ilustrasi. Semuanya merupakan hasil dari kolaborasi Tonjo bersama kawan-kawan lainnya. Maka dari itu, kegiatan ini tidak semata-mata sebagai proyek tunggal Tonjo, tetapi juga proyek bagi siapapun yang hadir dan terlibat di dalamnya. 

Persis seperti ketika Tonjo yang tiba-tiba disuguhi arsip digital, sketsa, foto, tulisan, dan video wawancara pelaku-pelaku dalam konteks Xiamen Dada, kami juga membayangkan audiens yang datang di perpustakaan AAA nantinya akan mengulik dan berspekulasi dengan diri sendiri setelah menilik karya-karya yang disuguhkan Tonjo dan kawan-kawan. 

Bagi Tonjo sendiri, akan selalu ada imajinasi liar yang mempertanyakan kondisi pra/pasca peristiwa seperti dalam aksi-aksi pembakaran karya atau penarikan gedung National Art Gallery. Tonjo berpikir bahwa ide atas proyek BTKL adalah semacam gerakan dadaisme hari ini, sehingga sedikit atau banyak, baik atau buruk, kemunculan nilai estetika yang beragam dan tidak saling terkait memungkinkan melahirkan estetika baru tidak hanya pada estetika visual. 

Editor: Jurnal 56