Tamasya di Ujung Malam: Pengalaman Artistik Mengubah Catatan Mimpi Menjadi Rangkaian Estetik

— Juanda M. Arvis, mahasiswa Fotografi Institut Seni Indonesia Surakarta

Mimpi seakan menjadi coretan perjalanan yang membekas di ingatan Muhammad Alfariz saat hanyut di alam bawah sadar.

Tamasya di Ujung Malam, begitulah tajuk pada karya Muhammad Alfariz yang menceritakan jejak-jejak perjalanan mimpinya melalui praktik medium fotografi. Karya tersebut menjadi salah satu bagian dari pameran Stem Show : three yang berlangsung selama 21 Oktober hingga 11 Desember 2022 di Tirtodipuran Link, Yogyakarta.

Pada praktiknya, Fariz mencoba merekam kembali dengan mencatat dan melakukan sketsa secara kolektif lewat memori ingatan dari belenggu mimpi yang ia alami dan rasakan secara personal. Menurut Sigmun Freud, mimpi merupakan merupakan pesan-pesan pada dimensi alam bawah sadar yang di dalamnya berisi sebuah keinginan terkait aktivitas emosional seseorang dan juga aktivitas emosional yang tidak disadari sama sekali oleh personal tersebut.

‘Tamasya di Ujung Malam’ karya Muhammad Alfariz (dok. Stem : three)

Berangkat dari hal tersebut, proses Fariz menggali mimpi merupakan suatu citra serta impresi dari emosional dirinya. Sehingga wacana-wacana terkait mimpi tersebut memiliki pendekatan kuat secara personal yang diinterpretasikan ke dalam sebuah rekonstruksi karya.

Praktik rekonstruksi dari catatan mimpi tersebut dituangkan pada medium fotografi dengan pendekatan teknik kolase akrilik. Bagi Fariz, teknik tersebut mampu menggabungkan beberapa elemen mimpi yang ia alami ke dalam suatu rangkaian visual secara kontekstual. Kondimen objek estetik pada karya kolase tersebut didapatkan Fariz dari praktik fotografi yang sudah ia lakukan selama kurang lebih 6 tahun belakangan. Alhasil, catatan mimpi tersebut dikembangkan dari pengalaman artistik Fariz yang mengolah arsip-arsip dari praktik foto sebelumnya.

‘Tamasya di Ujung Malam’ karya Muhammad Alfariz (dok. Stem : three)

Di beberapa kondisi, Fariz juga melakukan praktik hunting fotografi dengan mencari objek-objek yang sesuai dengan catatan dan sketsa mimpinya tersebut. Berangkat dari proses tersebut, kemudian Fariz menuangkan dan mencari benang merah antara arsip dan rangkaian foto yang diproduksi olehnya. Alhasil, Fariz menciptakan suatu rangkaian dari goresan catatan mimpinya.

Menurut Fariz, “Perenungkan atas karya merupakan bentuk interpretasi tentang bagaimana pengalaman mimpi dapat direfleksikan kembali kepada kehidupan nyata”.

Pada karya Tamasya di Ujung Malam terdapat satu hal yang memantik mata: Lanskap. Visualisasi dengan bumbu surealis merupakan pokok dasar capaian artistik yang ingin dihadirkan oleh Fariz. Benar saja, kepala kita dicoba untuk berpikir secara kritis lewat elemen realis dari hasil fotografi yang dipadukan dengan elemen surealis dari hasil imajiner mimpi tersebut. Elemen-elemen tersebut seakan menjadi magnet atas visualisasi yang dilakukan oleh Fariz.

‘Tamasya di Ujung Malam’ karya Muhammad Alfariz (dok. Stem : three)

Selain itu, Fariz memakai teknik kolase foto yang menggunakan media akrilik. Bagi Fariz, akrilik digunakan karena material tersebut memiliki nilai artistik tersendiri.  Fariz melihat akrilik mampu menjadi semantik atas pecahan fragmen dari mimpi yang ia alami. Potongan-potongan akrilik yang dicetak dengan imaji foto di bagian atas, merupakan representasi atas potongan-potongan dari fenomena mimpi yang dialami.

Kemudian akrilik yang sudah dicetak dengan imaji foto masuk ke tahap proses cutting laser, hal tersebut dipilih guna membentuk media akrilik sesuai dengan bentuk imaji foto yang sudah diolah sebelumnya melalui proses digital imaging lewat software Adobe Photoshop. Potongan akrilik kemudian dicetak dengan imaji foto lalu dirangkai dengan menempelkan imaji tersebut sesuai catatan dan sketsa yang telah dirangkum oleh Fariz sebelumnya. Terakhir, Fariz menulis kembali catatan-catatan mimpinya di atas karya tersebut dengan bolpoin permanen. Hal tersebut dilakukan agar audiens dapat membaca fenomena seperti apa yang diceritakan pada karya tersebut.

Bagi Fariz, posisi karya ini dilimpahkan kembali kepada publik: bagaimana persepsi publik menilai fenomena-fenomena yang dirasakan dan temui? Seperti yang dituliskan oleh Roland Barthes tentang The Death of Author, karya Tamasya di Ujung Malam akan membangun interaksi dengan audiensnya. Eksplorasi yang dilakukan Fariz merupakan bentuk sejauh mana fotografi dapat bersinergi dalam mewakili wacana-wacana yang terbangun.

Pameran ‘Tamasya di Ujung Malam’ karya Muhammad Alfariz (dok. Juanda M. Arvis)
Editor: Jurnal 56