Membayangkan Masa Lalu: Bukankah Sejarah Penuh Spekulasi?
— Michael Pandu Patria, penulis/peneliti lulusan Psikologi Universitas Sanata Dharma.
George Santayana, seorang pemikir Amerika berkebangsaan Spanyol, sekali waktu pernah berkata, “those who ignore the past are condemned to repeat it” – “mereka yang tak mau tahu mengenai masa lalu dikutuk untuk mengulanginya”.
Betapa mengerikannya hal ini, pengabaian sejarah mungkin saja dapat memengaruhi kehidupan manusia hari-hari ini. Rangga Purbaya, dalam pameran tunggalnya yang bertajuk Tahun-Tahun Yang Berbahaya yang dikuratori Karina Roosvita, berusaha meretas kutukan ini, dengan menghadirkan konteks historis Peristiwa 65 dalam ingatan masyarakat kontemporer.
Rangga menghadirkan citraan wajah-wajah yang tidak merujuk pada siapapun, tanpa keterangan nama atau identifikasi apapun. Wajah-wajah ini, kemudian berfungsi menjadi semacam penanda kosong (empty signifier), yang akan menimbulkan berbagai pertanyaan; siapa mereka? Mengapa wajah mereka terpampang di sini? Rangga lantas memberikan konteks bagi penanda kosong ini: Peristiwa 65. Citraan wajah yang ia tampilkan di sini, merupakan visualisasi data yang dihimpun dari buku-buku, arsip, serta kesaksian-kesaksian yang kemudian diolah dengan teknologi komputasi dengan model forensic architecture. Dalam usahanya untuk mengawetkan ingatan, Rangga menggunakan pendekatan ini atas pertimbangan etis, bahwa ia tidak bisa secara serampangan menggambarkan wajah seseorang berdasarkan imajinasinya sendiri.
Meskipun demikian, Peristiwa 65 merupakan fakta historis yang berselimut kabut, tidak ada kebenaran objektif yang absolut ketika berbicara mengenai persoalan ini. Dengan karyanya ini, Rangga memperkaya usaha untuk menghadirkan kemungkinan-kemungkinan narasi alternatif dalam masyarakat kontemporer berkaitan dengan Peristiwa 65.
Citraan wajah-wajah yang ditampilkan oleh Rangga di sini menjadi satu hal yang menarik, sebab visualisasi data yang ditampilkan di dalamnya menunjukkan narasi imajinatif dan spekulatif. Ben Anderson mengatakan bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang imajinatif, berada dalam keterbayangan karena setelah membaca atau menyaksikan sebuah peristiwa, masing-masing warga mampu menghadirkan bayangan sebuah bangsa meski mereka belum pernah saling sapa, jumpa dan kenal satu dengan lainnya. Dalam membangun nasionalisme, komunitas imajinatif yang bernama bangsa itu penampilannya didukung sepenuhnya oleh media cetak modern. Rangga, melalui citraan wajah serta konteks historis yang ditampilkan dalam pamerannya, lantas menghadirkan bayangan masa lalu yang mencekam, seperti judul pameran yang ia pilih, “Tahun-Tahun Yang Berbahaya”.
Menilik Sejarah yang Mengerikan
Dalam catatan sejarah, pembantaian massal atau genosida, terjadi atas nama peliyanan, Holocaust misalnya, terjadi ketika kelompok fasis Jerman yang terbentuk di bawah patai Nazi membantai orang-orang Yahudi yang dianggap sebagai liyan. Atau ketika genosida yang dilakukan oleh paramiliter etnis Tutsi di Rwanda, orang Hutu dianggap sebagai liyan dan dibantai. Dalam konteks Indonesia, peliyanan terjadi namun disertai dengan pengingkaran terhadap per-sesama-an. Orang tidak hanya membunuh apa yang digambarkan sebagai liyan, tetapi juga membunuh apa yang dicitrakan sebagai sesama anggota bangsanya. Dalam konteks Peristiwa 65, orang-orang dibantai bukan dalam konteks bahwa mereka adalah liyan, melainkan mereka adalah sesama anggota bangsa yang digambarkan sebagai pengkhianat, mereka dibunuh karena ke-Indonesia-an mereka. Peristiwa 65 menunjukkan kekejian yang begitu mengerikan, ketika orang Indonesia membantai sesamanya, yang merupakan orang Indonesia.
Dari bulan Oktober 1965 hingga Maret 1966, pembantaian massal terhadap kelompok kiri – orang-orang yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan yang dituduh berafiliasi dengan PKI, terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Pembunuhan massal ini memakan korban yang begitu banyak. Namun, pertanyaan mengenai jumlah pasti dari pembantaian tersebut hingga kini masih belum dapat terjawab. Jumlah paling moderat dari korban pembantaian massal ini adalah sekitar 500,000 orang, sedang beberapa sumber lain mengatakan bahwa jumlahnya hanya puluhan ribu, hingga yang terbesar adalah tiga juta orang. Selain pembantaian, juga terjadi penahanan paksa terhadap jutaan orang tanpa proses hukum dalam kurun waktu 1965-1968.
Sayangnya, sejak rezim Orde Baru menancapkan kekuasaannya, segala ingatan mengenai kekejian tersebut menjadi ingatan yang terlarang, orang hanya boleh mengingat Peristiwa 65 sebatas pembunuhan tujuh jenderal serta kekejaman dan pengkhianatan kaum komunis. Institusi negara pun membuat perayaan sakral untuk merayakan pembantaian tersebut, tanggal 30 September yang diperingati sebagai Pengkhianatan Gerakan Tiga Puluh September/Partai Komunis Indonesia (Pengkhianatan G30S/PKI) dan tanggal 1 Oktober yang diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Adanya represi terhadap pengetahuan yang berbahaya terkait pembantaian massal dalam Peristiwa 65 berpotensi membuat ingatan tersebut benar-benar lenyap. Hanya setelah Orde Baru runtuh, muncul secercah harapan untuk terus menjaga ingatan tersebut.
Aktor-aktor utama dan saksi kunci dari Peristiwa 65 telah meninggalkan dunia ini. Namun, tidak sedikit penyintas yang telah mengalami dan melewati masa-masa kelam pasca-1965, senantiasa menuturkan ceritanya dan masih berjuang untuk mendapatkan rasa keadilan yang telah direnggut dari mereka. Para penyintas 65 ini pun tak bisa hidup selamanya. Lantas, generasi selanjutnya diberi kesempatan untuk memutus warisan kebungkaman dan membangun proyek bersama sebagai sebuah bangsa tanpa beban sejarah.
Persoalan ingatan, menjadi satu hal yang cukup menarik ketika mengunjungi dan melihat proyek Rangga dkk. yang berjudul Faith in Speculation (FIS). Faith in Speculation, menyediakan sebuah ruang untuk mengawetkan ingatan; menampung narasi-narasi apapun yang berkaitan dengan Peristiwa 65. Proyek ini diberi nama “Faith in Speculation” karena berbagai narasi yang ditampung di dalamnya bertolak dari spekulasi-spekulasi yang tidak tahu kepastian objektifnya. Meskipun bertolak dari spekulasi, namun berbagai narasi mengenai Peristiwa 65 menunjukkan signifikansinya sebagai narasi alternatif dalam usaha untuk terus menjaga ingatan mengenai sejarah kelam bangsa ini tetap hidup.
Pengetahuan mengenai Peristiwa 65 menjadi penting untuk diingat, tidak hanya sebagai ingatan personal-familial, namun juga sebagai sebuah ingatan kultural, agar kita dapat mengatakan—meminjam istilah yang dikatakan orang Jerman di masa setelah Holocaust—‘nie wider’ alih-alih ‘wir haben es nicht gewußt’.
Istilah ‘nie wider’ dalam bahasa Inggris diartikan sebagai ‘never again’, yang menunjukkan bahwa orang perlu memiliki pengetahuan mengenai masa lalu yang brutal dan penuh kekerasan, agar kekerasan itu tidak terjadi kembali. Sedangkan istilah ‘wir haben es nicht gewußt’ yang dalam bahasa Inggris berarti ‘we did not know’, menunjukkan soal ketidaktahuan orang mengenai masa lalu yang brutal, yang kemudian menimbulkan risiko berulangnya sejarah yang brutal itu tadi.