Sebelum Semua Pucat Pasi: Perjalanan di Antara Reruntuhan

— Juanda M. Arvis

Fotografer telah membuat photobook sejak kelahiran fotografi pada awal abad kesembilan belas.

Hal tersebut ditegaskan oleh Martin Parr dalam meriwayatkan photobook sebagai suatu media yang beririsan dengan praktik yang dilakukan oleh fotografer sejak awal fotografi hadir. Photobook merupakan sebuah media visual berisi foto-foto yang dirancang dalam bentuk buku. Akan tetapi fungsionalnya tidak hanya berhenti di sana. Photobook merupakan sebuah medium yang kompleks dengan banyak faktor pertimbangan seperti desain, konteks, dan narasi. Lebih jauh, beberapa aspek lainnya seperti pemilihan foto, tata letak, kualitas cetak, serta jenis kertas yang mana masing-masing dari aspek tersebut memiliki peran untuk penyajian atas wacana yang ingin disampaikan oleh fotografer ataupun senimannya. 

Photobook sendiri berkembang mengkuti perputaran zaman, hal ini beriringan dengan inovasi dan kreativitas para pelakunya. Bentuk-bentuk sajiannya juga dinilai mulai lebih beragam, salah satunya seperti Dummy Photobook. Pada perhelatan Jakarta International Photo Festival (JIPFest) edisi tahun 2023, menghadirkan sebuah program Photobook Dummy Awards dengan diisi oleh 17 finalis terpilih yang menghadirkan proyek photobook dan zine dummies.

Salah satunya ialah sebuah proyek dummy photobook yang berjudul Sebelum Semua Pucat Pasi, yakni sebuah karya dari Vandy Rizaldi. Pada proyek tersebut juga melibatkan Prasetya Yudha sebagai editor dan desainer zine. Proyek photobook tersebut berhasil menjadi pemenang terpilih pada Photobook Dummy Awards yang dipersembahkan oleh JIPFest.

Tentunya hal tersebut didorong dengan penyajian konteks dan artistik yang disajikan, sehingga menjadikannya sebagai rangkaian yang utuh. Setelah itu, proyek Sebelum Semua Pucat Pasi resmi diluncurkan dan diterbitkan dalam bentuk zine oleh SOKONG! pada 29 Oktober 2023 di acara Jakarta Art Book Fair. Ini merupakan wujud untuk mampu menjangkau publik secara luas dalam menangkap transmisi yang dihadirkan serta digaungkan pada proyek zine Sebelum Semua Pucat Pasi.

Melihat dan Menangkap Fenomena Domestik

Pada zine Sebelum Semua Pucat Pasi, Vandy Rizaldi merespons penggusuran pemukiman warga sekitar pagar benteng yang mengitari teritorial Keraton Yogyakarta. Penggusuran tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, melainkan demi terselenggaranya proyek revitalisasi Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk membangun kembali nilai-nilai historis yang terdapat pada kawasan tertentu.

Melihat hal tersebut, Vandy mencoba menyusuri dan menangkap kondisi serta suasana pada kawasan permukiman di sekitar Pagar Benteng yang sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang warga yang tinggal di tempat tersebut. Tentunya, terdapat banyak memori ataupun kenangan dari tiap sudut dan ruang yang telah hadir beriringan dengan kehidupan warga dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.

Pada zine Sebelum Semua Pucat Pasi, tanpa disadari Vandy memiliki posisi yang penting dengan merekam dan menarasikan kembali kawasan Pagar Benteng yang akan digusur. Dengan kata lain, praktik yang dilakukannya bukan hanya sebagai proses dokumentatif semata melainkan menjadi bukti catatan historis yang akan terus dikenang. Nilai historis ini kemudian dapat kembali hadir ketika melihat ulang ruang dan tanda kehidupan yang sempat hadir di kawasan Pagar Benteng sebelum semuanya diruntuhkan dan menyisahkan kefanaan.   

Ruang Imaji yang Mewakili Realitas

Fotografi memiliki keistimewaannya dalam menangkap realitas untuk mentransmisikan kejadian kepada publik jauh di luar sana. Melalui foto, sebuah pesan (diupayakan) dapat mewakili fenomena dan peristiwa dari realitas tertentu. Praktik artistik dilakukan oleh Vandy Rizaldi dengan menghasilkan rangkaian foto-foto yang menjelaskan bagaimana kondisi antar ruang serta jejak kehidupan warga sekitar Pagar Benteng dari beberapa yang masih berdiri hingga bercerai-berai menjadi reruntuhan. Momen ini mampu memberikan wujud yang ideal kepada audiens untuk memahami hiruk-pikuk serta hal-hal yang terjadi di sana.

Zine ‘Sebelum Semua Pucat Pasi’ Vandy Rizaldi

Seperti pada foto di atas, Vandy mencoba untuk memberikan gambaran terhadap sesuatu yang masih “hidup” dan belum tereleminasi seperti nasib ruang lainnya. Melalui foto tersebut, pembaca dapat melihat ruang sebagai kuasa dari pemiliknya untuk mengelola semua bentuk yang memungkinkan untuk dipasangkan dan dihadirkan pada ruang yang mereka kuasai.      

Berikutnya, kita akan dihadapkan dengan rangkaian foto yang bertolak belakang dengan konsep ruang sebagai kuasa pemiliknya. Dalam hal ini dapat dilihat hanya menyisakan beberapa bagian di tengah puing-puing reruntuhan yang dulunya merupakan bangunan tempat mereka mengadu hidup. Ruang tersebut hancur tanpa dapat terbendung, seakan pemilik sebelumnya harus merelakan hal tersebut dengan konsekuensi yang mereka dapatkan.

Vandy menangkap semua itu. Seakan ia ingin menceritakan bagaimana ruang serta jejak tanda kehidupan mewakili perasaan duka atas fenomena dan realitas yang terjadi di kawasan permukiman warga sekitar Pagar Benteng. Melalui foto-foto itulah kemudian mampu menjadi refleksi sejauh mana kehidupan sebelumnya dapat berjalan hingga akhirnya harus terhenti di dalam reruntuhan.

Mengajak Pembaca Melakukan Sebuah Perjalanan

“Sebuah perayaan atas momen yang segera sirna, pesta yang hening atas kekalahan. Sebelum warna-warna yang terbuka tergantikan oleh kuasa yang tunggal.” – Vandy Rizaldi (Sebelum Semua Pucat Pasi)

Dalam proyek zine ini, Prasetya Yudha (Pras) memiliki peran yang sangat penting dalam merangkai seluruh penyajian yang dihadirkan pada zine tersebut. Vandy lebih dulu menyuguhkan audio yang merekam suara dari aktivitas yang terdapat di sekitar kawasan Pagar Benteng. Aksesnya, kemudian dapat melalui kode QR yang sudah disediakan pada zine tersebut. Adanya tambahan media itu membuat pembaca merasakan sebuah keadaan yang bukan hanya dapat dirasakan oleh indra pengelihatan tetapi juga merasakan suasana tersebut dengan indra pendengaran. 

Ketika membuka lembaran demi lembaran, pembaca akan disuguhkan setiap potongan foto dengan ukuran yang variatif dan tidak begitu konvensional. Konsep ini membuat tiap foto memiliki porsinya tersendiri untuk dinikmati. Pras mencoba menyunting kembali rangkaian foto yang sudah dihasilkan oleh Vandy.

Zine ‘Sebelum Semua Pucat Pasi’ Vandy Rizaldi

Pada lembaran awal, pembaca akan diajak untuk melihat kondisi ruang dan jejak kehidupan yang masih terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Semuanya masih tertata dengan ciamik merepresentasikan kultur yang dibangun oleh warga di kawasan Pagar Benteng. Lalu, setelah melewati lembaran berikutnya, pembaca mulai melihat ruang-ruang yang telah diruntuhkan. Mata kita akan hanyut melihat berbagai macam jejak kehidupan yang tenggelam bersama puing-puing reruntuhan bangunan. 

Konsep peyuntingan juga susunan yang disuguhkan oleh Pras mampu membuat pembaca memasuki perjalanan imajinasi dalam melihat fenomena yang terjadi pada kawasan permukiman warga di Pagar Benteng yang diabadikan oleh Vandy Rizaldi. Bentuk artistik ini jadi catatan penting dalam menarasikan kembali ruang dan jejak kehidupan sebagai pemantik atas kenangan yang tertimbun pada realitasnya.

Penutup

Sesuatu yang sudah dibangun sejak lama pastinya memiliki sebuah nilai tersendiri yang tertanam erat di dalam memori ataupun ingatan. Meskipun denyutnya telah habis, akan tetapi geloranya tidak akan pernah padam. Proyek zine Sebelum Semua Pucat Pasi merupakan salah satu wujud untuk membangun refleksi kepada para pembaca. Tentu saja dalam hal membangun perspektifnya untuk menilai fenomena yang terjadi dan dirasakan oleh warga di sekitar kawasan Pagar Benteng yang harus merelakan tempat mereka untuk membangun hidup. Semuanya itu, menjadi reruntuhan bersama nestapa dan kenangan yang telah dibangun sejak sedia kala. 

Editor: Jurnal 56