Mendinginkan Tubuh dan Pikiran di Tonjo Galeri MK-2

— Khoiril M, penulis seni

Saya tidak menyangka kalau acara Tonjo Galeri MK-2 terhubung dengan pertemuan yang tidak disengaja beberapa minggu sebelumnya. Saya bertemu dengan Y.Widoyoko atau yang akrab disapa Koko, dan Doot di minggu yang sama, dua seniman yang akan memamerkan karya mereka di acara itu. Pertemuan awal dengan mereka sangat sederhana dan santai yang berujung percakapan.

Saat saya melangkah masuk ke dalam ruang galeri, percakapan dari pertemuan itu masih membekas, bahkan berubah jadi karya di hadapan saya. Terpajang di satu ruang dengan berbagai macam aktivitas di dalamnya, gerak gerik orang muda, musik, bar, makanan, jadi satu. Khas pembukaan festival seni atau pameran di Jogja—dengan dana seadanya dan kekuatan pertemanan. Karya mereka tentu tidak ada masalah berada di tengah semua aktivitas itu, karena saya pikir, tema lain dari pameran bersama ini adalah mendinginkan tubuh dan pikiran. 

Saya bertemu dengan Koko di SUBstore 10A. Kawan saya, Fahriza Ansyari, memperkenalkan saya kepadanya. Sebelumnya mereka duduk bersama mengobrol tentang perkawinan cyanotype dengan sablon. Kalau sablon saya sedikit mencicipi prosesnya di Krack Studio. Sedangkan cyanotype kurang familiar.

Koko dengan semangat menjelaskan sejarahnya hingga dasar-dasar tekniknya. Mulai dari eksperimen fotogram, eksperimen kimia, sampai manfaatnya sebagai lahan belajar bagi pemula tentang prinsip negatif-positif dan dasar kepekaan cahaya dalam fotografi. Apa yang ia ceritakan seperti yang ada di Wikipedia atau Britannica—kecuali penjelasan tambahannya soal pemrosesan alternatif. Saya belajar banyak dari obrolan yang mirip lokakarya singkat ini. 

‘Body Shadow and Memory’ karya Y.Widoyoko (dok. MES56/Edwin ROseno)

Apa yang menurut saya menarik adalah karya Koko menangkap gestur dan gerakan tubuhnya sendiri. Tentunya ini sudah menjadi eksperimen umum di dalam perkembangan praktik cyanotype. Ia menampilkan visual tubuh yang berelaksasi. Pose ngaso, istirahat, merebah, sambil telanjang yang terekam dalam blok putih di tengah hamparan Cyan.

Ciri pelan dan sederhana dari proses foto paling awal dalam sejarah fotografi ini sangat klop dengan tema gambar tubuh berelaksasi. Tentu saja karena menangkap gerak cepat dan tubuh yang sibuk tidak memungkinkan dalam prosesnya. Perlu jeda sejenak bagi tubuh untuk tertangkap di dalam medium—ia menggunakan kain—yang sudah disiapkan. Pose istirahat semakin mendapat tempatnya di dalam proses cyanotype, jejaknya menjadi nyata. 

Ia merentangkan tubuh dari leher sampai tulang ekor, membuka dada, dan menjauhkan tulang belikat dari tulang belakang. Membiarkan tubuh terasa berat, melepaskannya dan tenggelam ke permukaan datar. Mirip dengan pendinginan dalam latihan aerobik—atau latihan apapun yang melibatkan gerak tubuh. Pose istirahat penting dalam latihan atau aktivitas kita sehari-hari. Setelah melakukan gerakan aktif, pose istirahat membuat kita merangkum apa yang baru saja kita lakukan. Mengkalibrasi dan mengatur ulang tubuh dan pikiran.

Menikmati kelelahan dengan istirahat bukanlah keadaan di mana indra lesu atau menjadi tumpul. Sebaliknya, ia membangkitkan jenis kelelahan yang terus terang, menciptakan bentuk perhatian yang lambat dan menghindari perhatian yang grusa-grusu. Kelelahan yang mendalam menjadi sebuah bentuk keselamatan, sebuah bentuk peremajaan. 

Karya cyanotype ‘Body Shadow and Memory’ Y.Widoyoko (dok. MES56/Edwin Roseno)

Jika pemanasan mempersiapkan seorang aktor untuk lompat ke dalam pertunjukan, pendinginan mengantarkan mereka kembali ke kehidupan sehari-hari. Mereka melakukan penundaan peran dan membangkitkan kembali diri yang biasa, mereka menggantungkan kostum, menyimpan topeng, menghapus riasan, mencuci muka, dan mengenakan pakaian biasa.

Pendinginan adalah sebuah jembatan, sebuah fase di antara, dari aktivitas yang terfokus untuk tampil ke aktivitas yang lebih terbuka dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, saya tidak melihat proses pemanasan dan pertunjukan Koko secara langsung. Tetapi mungkin saja pose-pose itu adalah pertunjukan yang ia lakukan, pertunjukan membuat karya cyanotype. Apa yang saya lihat di depan saya adalah dokumentasinya. 

Pertemuan dengan Doot seorang residensiawan dari Jepang, berujung obrolan ke sana kemari yang lumayan panjang. Mulai dari seputar otaku, kejepangan, keindonesiaan, hingga berbalas lelucon. Mungkin karena pertukaran tersebut yang melibatkan pandangan masing-masing yang tidak pernah bisa komplit, keluarlah celetukan sawang sinawang.

‘Sawang Sinawang’ karya Doot (dok. Yayasan Tonjo Foundation)

Kemudian kami membahasnya dan kami agak kesulitan menerangkannya dalam bahasa Inggris. Doot pun menanggapi dengan istilah atau peribahasa lain yang mungkin mendekati maknanya. Akhirnya kami bingung sendiri dan kurang puas dengan usaha penerjemahan ini. 

Tidak lama kami bertemu Doot lagi. Ia sudah menggambar sketsa instalasi di buku catatannya. Ia menggambar prisma segitiga, di ujung atasnya, ia memberi lubang mata di setiap sisi. Mungkin belum genap 10 hari, karya itu sudah ada di Tonjo Galeri, di ruang perpustakaan MES 56. Kesan pertama saya adalah mungkin ini bentuk yang paling sederhana dan harafiah dari sawang sinawang—hanya bisa melihat mata lawan bicara, tanpa bisa melihat keseluruhan ekspresinya, dan kita menciptakan ekspektasi sendiri.

Namun karena Doot yang membuat, seorang yang tidak hidup di tengah masyarakat Jawa, justru mengundang kita sejenak memikirkan tentang bagaimana kita memperlakukan sawang sinawang. Tanda-tanda ini sudah ada ketika ia mengaplikasikan kain bermotif khas NTT untuk menutupi keseluruhan bidang luarnya, yang awalnya saya membatin ini sengaja eksperimental untuk tujuan tertentu, ternyata ia memilihnya karena alasan murah. 

Umumnya kita tahu sawang sinawang adalah kebijaksanaan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak terburu-buru menilai orang lain, tidak membanding-bandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain, tidak iri dengan kesuksesan orang lain, karena apa yang kelihatan indah belum tentu kenyataannya demikian.

Pada intinya ia sering dikaitkan dengan konsep persepsi yang terburu-buru. Pemaknaan semacam itu sudah kita hidupi dalam keseharian bermasyarakat. Jika kita melihat lagi peribahasa lengkapnya yang berbunyi “urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang“, sebenarnya juga mengajak kita—siapapun yang terpanggil oleh kebijaksanaan ini—untuk melapangkan pikiran, melihat dengan berbagai perspektif yang berbeda. Keterbukaan atas perbedaan yang sering kita nyatakan dalam kesadaran bersosial—bahkan inspirasi berkarya—dalam konteks masa kini. 

Presentasi karya ‘Sawang Sinawang’ Doot di Ruang MES 56 (dok. Yayasan Tonjo Foundation)

Instalasi Doot adalah sebuah manifestasi fisik dari kebijaksanaan dan kesadaran tersebut—jika mau disebut demikian. Doot mengundang para pengunjung untuk menempati setiap sisi prisma dan terlibat obrolan dengan orang di hadapan mereka. Lebih dari sekadar melihat dari sudut pandang Doot, atau rekan-rekan konsultan Jawa-nya, instalasi ini mendorong dialog melalui daftar pertanyaan yang ditempelkan di setiap sisi.

Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong refleksi diri dan eksplorasi identitas individu dan kolektif. Misalnya, merenungkan perbedaan dan persamaan antara diri sendiri dan dua orang lain dalam percakapan yang lebih dalam tentang perspektif pribadi. Isi pertanyaan-pertanyaannya tentang situasi yang membangkitkan perasaan perbedaan, kenikmatan keberagaman, dan peran perbedaan dalam membentuk identitas seseorang. Ketika pengunjung terlibat dengan instalasi ini, mereka tidak hanya didorong untuk melihat tetapi juga mempertanyakan, menumbuhkan tempat untuk berbagi pemahaman dan apresiasi terhadap beragam perspektif. 

Editor: Jurnal 56
Foto sampul: “Body Shadow and Memory” Y.Widoyoko (dok. MES56/Edwin Roseno)