Rujak Pare Bercerita Pahitnya Tragedi Mei 1998

Mirna Layli Dewi, jurnalis foto independen.

Sore itu sekitar pukul 17.50 WIB saya tiba di plataran Boen Hian Tong, Gg. Pinggir No.31, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kebetulan saya datang lebih awal sebelum acara mengenang tragedi Mei ‘98 ini dimulai. Suasana saat itu, sore menjelang malam tepatnya saat langit perlahan meredup. Di ruangan sudah hadir beberapa orang, diantaranya panitia penyelenggara, tamu, dan grup pelestari musik Tionghoa. Mereka semua terlihat menunggu sambil sibuk menyiapkan keberlangsungan acara. 

Suara alunan musik pelestari dari grup Lam Koan mewarnai kedatangan para tamu acara, satu persatu orang-orang berdatangan. Silih berganti saling mengisi buku tamu lalu, mencari, dan mengambil posisi duduk. Termasuk saya ketika tiba di lokasi dihampiri dan diberitahu untuk mengisi buku tamu, “Selamat datang, mari silakan diisi buku tamunya,” ujar seorang panitia. 

Tahun ini tajuk yang diangkat dalam peringatan ialah “Pemerasan Seksual Via Medsos”. Rangkaian acara dimulai dengan doa bersama, ritual rujak pare bunga kecombrang, refleksi Mei ‘98, dan ditutup dengan estungkara. 

Bersama dengan tamu acara lainnya, saya akhirnya memilih duduk sambil mengobrol dan sesekali celingukan. Saya menanti kapan acara akan dimulai. Sebab berdasarkan poster, acara akan dilangsungkan pukul 18.00-20.00 WIB. Sambil menunggu, saya pun memutuskan untuk mengamati tiap sudut ruangan. Di sudut kanan ruang terdapat meja panjang dengan berbagai sajian makanan di atasnya, seperti cemilan, kacang, dan pisang rebus. Semua ditata teratur di atas tampah bambu yang ditutupi daun pisang. Selain itu, di sekitarnya juga terdapat bunga sedap malam yang aromanya menyeruak di seluruh ruangan.

Di sisi lain, panitia juga turut menyiapkan nasi ulam bunga telang yang terdiri atas berbagai macam campuran lauk, juga irisan pare yang tersaji di dalam wadah, dan tak lupa ada bumbu rujak yang siap untuk diulek bersama bunga kecombrang. 

Tak lama akhirnya acara berlangsung dengan khidmat. Prosesi diawali dengan saling memasangkan pita hitam, sembahyang, dan doa bersama. Pemasangan pita hitam sebagai simbol duka atas peristiwa Mei ‘98. Semua orang berhadapan dan saling memasangkan pita hitam di tangan kiri. 

Prosesi sembahyang, doa bersama, dan penyematan sinci atau papan arwah Ita Martadinata dipimpin oleh Ws. Andi Gunawan [depan] (Dok. Mirna Layli Dewi)

Ws. Andi Gunawan, Ketua Panitia Peringatan Tragedi Mei ‘98 tahun 2024 dalam pembukaan mengapresiasi para tokoh lintas agama dan para undangan yang hadir dalam peringatan kali ini. ia menambahkan, “Seperti yang dikatakan Sang Buddha, saya menyukai kehidupan, kebenaran. Namun, jika keduanya tidak bisa saya dapatkan. Saya akan merelakan hidup dan berpegang pada kebenaran,” pungkasnya. 

Prosesi dilanjutkan dengan ritual penghormatan untuk Ita Martadinata, salah satu korban kekejian tragedi Mei ‘98. Ita adalah aktivis HAM. Ia terbunuh dengan luka menganga di bagian leher. Ia ditemukan tewas pada Oktober ‘98 di rumahnya sendiri. Kejadian ini terjadi selang beberapa hari sebelum dirinya memberikan kesaksian atas tragedi Mei ‘98. Ita mewakili Komunitas Buddhis Indonesia untuk bersaksi di sidang forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, AS.

Kasus kematian korban pemerkosaan Mei ‘98 berdampak langsung pada korban lainnya: timbul rasa takut untuk bersuara dan menceritakan ulang kejadian. Karena takut mengalami nasib tragis hingga akhirnya mereka memilih diam untuk melanjutkan hidup. 

Sebagai penghormatan, sinci atau papan arwah Ita yang bewarna putih disematkan di altar Boen Hian Tong. Penyematan sinci Ita ditaruh bersebelahan dengan sinci Presiden Keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nasi goreng dan mi goreng juga terhidang di meja altar. Diketahui kedua makanan tersebut adalah makanan favorit Ita. 

Ritual Rujak Pare Bunga Kecombrang

Bumbu rujak yang dibubuhi potongan bunga kecombrang (Dok. Mirna Layli Dewi)

Setelah melakukan prosesi penghormatan kepada Ita, penyelenggara mengarahkan tamu untuk segera menyaksikan ritual rujak pare bunga kecombrang. Bumbu rujak bersama irisan bunga kecombrang diulek menjadi satu. 

Ada filosofi di balik ritual ini, pare melambangkan rasa “pahit” atas kejadian kelam tragedi Mei ‘98. Sambal rujak sengaja dihadirkan bercita rasa pedas karena rasa pedas simbol dari “kesedihan” atas peristiwa itu. Begitupun, bunga kecombrang yang memiliki makna tersirat sebagai simbol “perempuan Tionghoa.”

Pengulekan sambal rujak bunga kecombrang diibaratkan bahwa pernah terjadi kekerasan–represi yang menimpa perempuan Tionghoa pada Mei ‘98. Begitupun rasa pahit yang ktika dimakan dengan sambal rujak kecombrang mewakili perasaan ‘kepedihan atas penderitaan; yang dialami para korban.

Di samping itu, acara ini juga menyajikan hidangan lain, yakni nasi ulam bunga telang. Di dalamnya terdapat bermacam lauk, seperti sayur kol putih dan ungu, wortel, dan sawi.  Untuk protein, berasal dari ayam bumbu rujak, ikan asin kering, sambal goreng ati, dan telur. juga terdapat pula sambal matah, serundeng, dan kerupuk pangsit. 

Selain rujak pare kecombrang, nasi ulam bunga telang juga punya filosofi sendiri. Semua sajian tersebut, dicampur menjadi satu. Pencampuran berbagai macam lauk-pauk memiliki makna bahwa nasi yang bewarna biru dari bunga telang melambangkan simbol ‘perdamaian harmoni, persatuan, kebenaran, dan kepercayaan.’ Sementara itu, lauk yang lain melambangkan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Asrida Ulinuha selaku Humas Boen Hian Tong menuturkan, secara keseluruhan “Nasi ulam bunga telang melambangkan perbedaan dan keberagaman yang dicampur menjadi satu agar saling mendukung,” ujarnya. 

Setelah orang-orang mengikuti rangkaian ritual tadi. Di momen ini tiba saatnya semua orang yang hadir dapat menikmati sajian. beberapa orang menyendokan irisan pare ke dalam piring dan membubuhinya dengan sambal rujak kecombrang. Masing-masing dari mereka mencicipi, ada yang kuat menghabiskan sepiring irisan pare, ada pula yang tidak kuat karena rasa pahit yang begitu pekat.

Saya turut mencicipinya dengan menyendokkan tiga irisan pare dan bumbu rujak kecombrang ke dalam piring.  Suapan pertama, irisan pare yang dibubuhi sambal rujak kecombrang saya nikmati. Melumatnya di dalam mulut secara perlahan, membuat saya mengernyit-kerjapkan mata secara rasa yang amat pahit. Begitupun lidah saya merasakan pedas dari sambal rujak kecombrang. Hingga suapan terakhir, saya tidak kuat dan memilih untuk segera menghabiskan pare. Lalu, menenggak air mineral langsung dari botol. 

Selain mencicipi rujak pare kecombrang, saya pun turut menikmati campuran nasi ulam bunga telang. Saya pikir saya harus mencobanya karena makna yang cukup dalam hadir dari kedua makanan ini. Rasa pahit setelah mengonsumsi rujak pare, seolah ternetralisir oleh rasa nasi ulam ini. Sebab, nasi ulam memiliki rasa yang gurih dengan cita rasa khas makanan Indonesia. 

Sesudah menikmati dua menu utama, sebagian tamu memilih melanjutkan hidangan lain, seperti cemilan. Penyelenggara juga turut menghidangkan makan malam untuk para tamu, yakni makanan tradisional kabupaten semarang. 

Refleksi Mei ‘98 Dalam Kesaksian Korban

Asrida Ulinuha (kiri) selaku humas Boen Hian Tongdan Suci (kanan) penyintas korban tragedi Mei ’98. Keduanya berpelukan setelah Suci merampungkan cerita kesaksiannya atas tragedi (Dok. Mirna Layli Dewi)

Setelah ritual rujak pare kecombrang, semua duduk untuk mendengar cerita kesaksian penyintas korban tragedi Mei ‘98. Perlu diketahui, tahun lalu perkumpulan Rasa Dharma menginisiasi pembentukan Forum Estungkara. Forum yang mewadahi korban kekerasan. Kali ini, acara peringatan masih menghadirkan korban tragedi ‘98. Mereka diminta hadir untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialami oleh mereka pada saat itu.Dalam refleksi ini setidaknya terdapat tiga penyintas korban tragedi Mei ‘98 yang hadir dan turut bercerita terkait kondisi yang mereka alami pada saat kerusuhan di Jakarta. 

Pertama, Budi adalah salah satu saksi kejadian kerusuhan Mei ‘98. Budi bercerita dirinya dan semua orang yang ada di lokasi kejadian harus berupaya melindungi dirinya sendiri. Kedua, adalah Suci (nama samaran) yang turut menjadi saksi kerusuhan hingga pasca tragedi kini dirinya mengalami trauma. Dan ketiga, Michael yang saat kejadian berencana ke gereja. Namun, terhambat karena adanya kerusuhan. Dari atas gereja, ia dan jemaat lainnya  menyaksikan betapa kerusuhan Mei ‘98 saat itu terjadi. 

Salah satu korban penyintas tragedi Mei ‘98 adalah Suci saat kejadian ia berumur 31 tahun dan kini usianya menginjak 58 tahun. Dengan raut wajah yang tampak gusar dan sedih. Ia mulai berdiri di tengah ruangan dan bercerita tentang kejadian yang ia alami. pada saat kerusuhan, Ia sedang bekerja di salah satu kantor di Jakarta. Seorang satpam mendatangi dan memberi tahu dirinya bahwa telah terjadi kerusuhan. Ia lalu, diajak oleh satpam untuk segera keluar dari ruangan karena beberapa gedung saat itu sengaja dibakar. Karena keadaan tidak kondusif, selama kurang lebih empat hari ia tinggal di rumah sang satpam. Ketika tengah bercerita, rasa haru pun terasa. ia sesekali mengelus dada dan menyeka air mata yang turut membasahi wajahnya. 

“Saya tidak tahu apa-apa, karena saya kerja dari pukul 09.00-21.00 WIB, lagipula tidak ada yang kasih tau juga. Listrik dan telfon mati, saya pikir biasa. Paginya, pukul 9.30 ada satpam menggedor-gedor pintu memanggil saya untuk segera keluar. Ci, ci! Ayo, keluar! Takutnya gedung ini akan dibakar,” cerita Suci. 

Saat ia dipanggil oleh satpam tersebut, awalnya ia tidak menyahut. Hobinya mendengar musik dengan volume tinggi membuatnya tidak dapat mendengar jelas ada seseorang yang memanggilnya pada saat itu. Inilah Kondisi yang mengakibatkan dirinya masih trauma pasca tragedi saat itu. 

Dalam wawancara khusus, ia turut menyampaikan, “Sampai sekarang saya tidak bisa tidur di tempat gelap dan tidak suka nonton (bioskop) karena engga kuat dengan suara keras. Saya terbayang dan takut karena dulu suasananya gelap dan sangat mencekam,” ujar Suci.

Tidak mudah bagi penyintas korban tragedi Mei ‘98 untuk menceritakan ulang tentang kejadian kelam yang dialami. Begitupula dengan Suci, suasana yang mencekam hingga kondisi yang terjadi saat itu masih melekat diingatannya. 

“Sebelumnya saya sudah ngikutin empat kali (kegiatan ini), tapi saya diem aja. Saya tidak sengaja bercerita dengan teman saya, lalu ditelfon dan ditawari untuk jadi narasumber. Akhirnya, saya minta untuk memikirkannya dulu baru saya mau,” tambahnya. 

Sementara itu, Harjanto Halim selaku Ketua Boen Hian Tong menuturkan, “Refleksi atas tragedi Mei ‘98 diselenggarakan bukan untuk mengungkit kejadian masa lalu, melainkan untuk mengenang sekaligus juga merajut ingatan agar kejadian serupa tidak kembali terjadi,” ujar Halim.

Pemerasan Seksual Via Media Sosial

Ketua Boen Hian Tong, Harjanto Halim dihadapan para tamu menyampaikan tujuan diangkatnya tajuk acara (Dok. Mirna Layli Dewi)

Refleksi Mei ‘98 yang diselenggarakan oleh perkumpulan Rasa Dharma kali ini bukan hanya sebagai sarana merawat ingatan tentang tragedi kelam di masa lalu. Kekerasan saat ini sudah merambah ke dunia maya. Mengangkat tajuk “Pemerasan Seksual Via Medsos” ditujukan sebagai sarana edukasi bahwa kejahatan seksual berbasis teknologi kini masif terjadi. 

Halim turut menyampaikan bahwa refleksi tidak hanya terbatas pada kejadian Mei ‘98 saja. Tetapi, di depan mata sudah banyak terjadi kekerasan seksual via media sosial (medsos). 

Beberapa kali Boen Hian Tong mengadvokasi kasus kekerasan. Salah satunya, kasus kekerasan terhadap pacar atau dikenal dengan Kekerasan dalam Berpacaran (KDP).

“Korban digebukin di kos-kosan, lalu perkumpulan kami mengajak untuk mediasi dengan kepolisian. Namun, ending-nya korban dan pelaku sepakat untuk berdamai,” pungkas Halim, “Upaya untuk menindaktegas pelaku diusahakan oleh pihak perkumpulan, tetapi lagi-lagi keputusan akhir ada di tangan korban.”

Isu utama yang diangkat adalah sextortion (sexual extortion) ‘pemerasan seksual.’ Di hadapan para tamu yang hadir, halim mengenalkan kejahatan yang marak terjadi di medsos, yakni pemerasan seksual. Kejahatan jenis ini adalah kekerasan seksual berbentuk pemerasan yang didasari ancaman yang dapat merugikan korban jika tidak memenuhi tuntutan pelaku. 

Ia memberi contoh kasus pemerasan seksual yang dilakukan melalui kanal Instagram, pelaku men-DM korban untuk meminta foto atau video vulgar. Kemudian, Jika tidak diberikan diancam dan dimintai sejumlah uang. Tak jarang uang yang diminta dalam jumlah yang fantastis. Ancamannya berupa, jika uang tidak diberikan maka foto atau video vulgar korban diancam akan disebarkan.

Di penghujung acara, ia juga berpesan bahwa pelaku tidak hanya menargetkan usia dan jenis kelamin tertentu. Tetapi, semua orang bisa menjadi target atas kejahatan pelaku. Untuk itu halim meminta semua orang yang hadir agar lebih peduli dan mawas diri atas kasus kekerasan hingga pemerasan seksual yang terjadi melalui medsos.

Editor: Jurnal 56
Foto sampul: Potret gedung perkumpulan sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Semarang (Dok. Mirna Layli Dewi)