Ruang MES 56 dan Estafet Sebilah Pisau

Oleh Eliesta Handitya, Kurnia Yaumil Fajar, dan Rifki Akbar Pratama

Gatari Surya Kusuma “How We Inhabit Our Vital Space”, 2017

Semangat, hidup dan menghidupi fotografi, jejaring, seduluran, kekerabatan, keluarga, main house, belajar, kritis, tindakan, ajar diri, crossover, tawa, api dalam sekam, hidden fragility, pride and joy, akses, running to stand still, seberapa penting kita menjawab tantangan jaman, kendaraan untuk menghidupi semua, whatever forever.

Begitu lontaran kata-kata para begundal komplotan Ruang MES 56 saat mencoba mendefinisikan kolektif ini dalam satu helaan napas. Kami yang hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) sebelum menulis teks ini barangkali mudah merangkai isi kepala mereka dalam satu kalimat singkat. Akan tetapi, lain soal bila membayangkan bagaimana himpunan kata-kata tersebut terwujud dalam praktik MES 56 sejak 2002. Dinamis mungkin mengisi satu sisi, sedangkan rumit menempati sudut yang lain. Komposisi kedua hal yang tertanam dalam praktik ini barangkali akan lebih jarang terdengar bila dibandingkan slogan mereka — keren dan beken.

Tentu saja, upaya mendefinisikan MES 56 tak mungkin terhenti dalam satu helaan napas saja. Sebagai kolektif yang telah melewati tujuh belas tahun berdinamika, MES 56 dihidupi oleh napas nan panjang. Sebagai sebuah kelompok yang “dinamis”, MES 56 barangkali menjelma menjadi gambaran laku kolektif ideal yang selama ini didamba: keterikatannya pada ruang fisik, konsistensi berkarya yang menjadi pijakan, pun jejaring komunitas nan terus meluas. Namun demkian, sebagai kolektif yang bertumpu pada praktik membekukan momen kita perlu mafhum bahwa ada gerakan yang tak tertangkap oleh citraan statis. Selayaknya hal yang tak tertangkap dalam sebuah foto, apa yang belum dibicarakan ialah bahwa MES 56 sebagai kolektif adalah gerak itu sendiri: sebuah proses.

Teks ini merupakan wujud refleksi kami — sebagai orang-orang yang berasal bukan dari lingkaran internal MES 56. Bersumber dari diskusi eksperimentalis yang tidak terstruktur, dan lebih didominasi oleh kegelisahan terkait ruang yang selama ini mereka hidupi bersama, tulisan ini dapat digunakan untuk sejenak menilik proses MES 56 ke belakang ataupun menjadi titik pijak dalam memproyeksikan aktivitas MES 56 ke depan. Sesuai dengan judul pameran, “We Go Where We Now”, tulisan ini hadir sebagai upaya kami memotret MES 56 di tengah tegangan antara dua posisi, yakni sebagai kolektif yang dihidupi secara swadaya di satu sisi dan sebagai organisasi yang lebih institusional, terutama ketika Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang akan hadir sebagai penyokong Ruang MES 56 terhitung sejak tahun 2019 ini.

Nunung Prasetyo, 2017

MES 56 dalam Tantangan Zaman

Selama ini, MES 56 berpijak pada pengalaman kolektif dan personal terkait bagaimana para anggota menghidupi ruang yang mereka sebut sebagai A Cooperative Space for Art Et Cetera. Terma nyentrik “Ruang Kooperatif untuk Seni dan Lain-lain” sendiri sejatinya masih begitu terbuka karena ungkapan “dan lain-lain” masih bisa terus ditelisik, dimaknai, bahkan didefinisikan ulang. Keberadaan “ruang” pun tampaknya menjadi kendaraan penting bagi keberlangsungan MES 56 selama ini. Sebuah premis yang nampaknya begitu sederhana yang diiringi konsekuensi sebaliknya.

Bagaimanapun juga, dalam memaknai ruang, kita tak bisa hanya membacanya melalui kacamata pandang yang banal, yakni ruang sebagai lokus bermukim saja. Ruang (juga rumah) menjadi manifestasi riil dinamika kolektif MES 56. Ruang menjadi arena yang dinamis, bahkan bisa jadi politis. Sebab dalam keberlangsungannya, hadir semacam dinamika kuasa antarindividu dalam kolektif. Hal yang berpotensi menciptakan friksi bila tak ada ruang dialog untuk membicarakan berbagai keresahan terkait perbedaan perspektif.

Ruang MES 56 sendiri dikenal sebagai ruang di mana informalitas menjadi bahasa bersama. Gambaran yang muncul dari proses tersebut ialah bayangan bagaimana MES 56 selama ini bekerja melalui pertukaran ide yang diletupkan di kala kongkow atau di tengah pesta, di fase antara senda gurau, olok-olok, dan ketidaksadaran — baik dengan atau tanpa bantuan alkohol. Istilah “organik” menjadi label yang kerap kali ditempelkan bagi gerak MES 56 selama ini. Gerak organik semacam ini sedikit banyak mulai dipikirkan ulang para anggota sejak MES 56 memenangkan tender revitalisasi infrastruktur fisik ruang kreatif dari Bekraf. Kehadiran kesempatan yang disebut personel MES 56 sebagai post-Bekraf ini pun menggulirkan pertanyaan, yakni: akankah kehadiran infrastruktur baru nantinya juga memantik perubahan arah gerak kolektif MES 56?

Pasalnya, apa yang sebelumnya fleksibel perlu beririsan dengan yang sensibel, yang sebelumnya organik tak bisa lagi abai terhadap taktik. Hal ini secara mendasar menyuguhkan pertanyaan soal visi MES 56 ke depan. Periode revitalisasi fisik ini tampaknya menempati suatu posisi yang penting dalam perjalanan MES 56. Imbuhan terikat “post” atau “pasca” yang mendahului Bekraf mengisyaratkan pandangan anggota MES 56 yang cukup menjadikan momen ini sebagai batu tumpuan baru. Penekanan ini menjadi menarik lantaran awalnya MES 56 hadir sebagai ruang eksperimentasi yang beririsan dengan laku budaya alih-alih bertumpu pada kaidah industrial. Namun demikian, seiring sejalan kedua laku tersebut nampaknya perlu dinegosiasikan. Baik secara diam-diam atau terang-terangan, ada harapan tertaut yang membayangkan MES 56 dapat menghidupi anggotanya secara finansial. Langkah yang sebetulnya telah coba diinisiasi dan diujicobakan salah satunya melalui proyek Afdruk 56.

Kolektivitas MES 56: Glorifikasi Klaim Organik?

Di dunia ini ada dua jenis mata air kekhawatiran. Pertama, ialah apa yang belum terjadi dan menuntut antisipasi. Kedua, ialah hal-hal yang terlewati tetapi belum tertangani. Persoalan pertama ialah hal yang sepele karena, meminjam istilah dari Brigitta Isabella, MES 56 lahir dalam situasi di mana “pada mulanya adalah ketidaktahuan”. Kita pun bisa menyaksikan bahwa MES 56 hingga kini masih terus hidup bermodalkan antisipasi atas berbagai kemungkinan. Menilik kondisi MES 56 kini, tampaknya kekhawatiran jenis kedua-lah yang masih menghantui. Sebagaimana pernah dicatat pula oleh Brigitta empat tahun yang lalu, “struktur organisasi menjadi masalah yang mengakar sampai saat ini.” Pintu masuk refleksi terkait problem ini akan menyentuh hal yang sentral dalam gerak MES 56. Apa yang dilontarkan salah seorang punggawa MES 56 dalam FGD sebagai “glorifikasi klaim organik”.

Organik yang bersinonim dengan cair tampaknya menjadi sesuatu yang ideal dalam gerak organisasi. Apa yang luput dalam gambaran ini ialah sesuatu yang cair cenderung tak berbentuk. Keresahan yang senada muncul dalam FGD terkait sulitnya membaca membaca kode-kode interpersonal dan anggapan bahwa setiap individu dalam kolektif telah saling memahami satu sama lain. Hal yang kerap kali mengaburkan hadirnya friksi dan kurangnya dorongan untuk evaluasi. Barangkali, kehadiran sistem yang lebih struktural di MES 56 memang dibutuhkan, tetapi tidak serta merta melesapkan keterikatan yang sifatnya personal. Sebab, hubungan organis demikian sampai kini masih menjadi ciri khas dan penyangga dari keberlangsungan MES 56.

Ruang senjang dalam relasi interpersonal yang menjadi basis klaim organik MES 56 ini telah diraba pula oleh Brigitta. Bahwa, “ada hierarki yang sudah mapan di dalam MES 56” sehingga anggota muda MES 56 tidak dapat dengan mudah mengatakan pendapat mereka. Bahwa, diam-diam ada pandangan akan adanya keterputusan generasi. Pandangan yang menempatkan generasi muda MES 56 sebagai generasi yang “terputus dari sejarah panjang MES 56 dan hanya menikmati hasil yang sudah dicapai senior-seniornya.” Meminjam frasa yang dipilih dua anggota MES 56 yang tertera di atas, yakni “api dalam sekam” dan “hidden fragility”, kita pelan-pelan dapat secara tidak langsung ikut meraba persoalan ini.

Retrospeksi Proses dan Estafet Sebilah Pisau

Yudha Kusuma Putera “Form Follows Kinship”, 2017

Upaya mencegah anggapan kembali hadirnya sejarah yang terpenggal antargenerasi, langgengnya sistem kode yang tak terpecahkan, isu-isu personal yang tak terkatakan dan dianggap angin lalu, maupun inisiatif yang terkebiri karena kesenjangan relasi kuasa, tampaknya menuntun MES 56 untuk menengok kembali ke dalam “rumah”. Revitalisasi fisik rumah mereka yang sedang berjalan menuntut pula reorganisasi visi. Citra “keren dan beken” yang tampil di dalam bingkai perlu disokong kesepahaman atas visi serta idealisme yang dipegang teguh bersama di baliknya. Pendefinisian ulang kolektif ini sedikit banyak juga perlu menggambarkan terkait wacana apa yang kemudian menjadi “lawan bersama” dalam kerja kesenian mereka. Karena menjadi alternatif tanpa meneguhkan posisi berdiri kini tak ubahnya sekadar opsi di tengah pasar yang terus gencar memonetisasi. Pendefinisian ulang ini pun nantinya akan turut menjadi katalis bagi upaya membangun solidaritas kolektif di antara para anggota MES 56. Di sisi lain, perwujudan ruang percakapan yang riil dalam gerak MES 56, baik di dalam kolektif maupun ke sesama kolektif, penting kiranya untuk memungkinkan terjadinya penyebaran gagasan serta pertukaran pengetahuan. Suatu semangat yang pada gilirannya dapat membantu untuk menilik ulang proses dan sejarah MES 56 secara lebih utuh. Hal ini penting dalam rangka menyambungkan artikulasi gagasan antargenerasi dalam keanggotaan MES 56.

Di dalam kepala beberapa orang, MES 56 bisa jadi dianggap sudah “selesai” secara kolektif — yakni telah menempatkan sebuah kerja kolektif fotografi kontemporer di tengah konstelasi seni yang begitu purna. Namun, alih-alih menganggap bahwa MES 56 sudah selesai, kita dapat melihat revitalisasi fisik dan pameran retrospeksi “We Go Where We Now” ini sebagai sebuah jalan yang menuntun pada sebuah tanggung jawab baru. MES 56 tak bisa terhenti menjadi citra beku yang terekam oleh kamera. MES 56 perlu menyuguhkan proses yang menunjukkan bagaimana citra “keren dan beken” tercipta.

Seiring waktu, karya dan produk MES 56 akan terus menerus bertumpuk menjadi arsip. Sedangkan di dunia ini apa yang menjadi titik pijak akan selalu berupa prinsip. Catatan retrospeksi ini ialah sebentuk catatan terkait kesempatan dalam untaian pertanyaan mengenai bagaimana MES 56 akan melanjutkan perjalanan. Memadatkan segumpal persoalan tadi, kita bisa mengandaikan retrospektif MES 56 layaknya estafet sebilah pisau. Bahwa, ketika persoalan yang terus berulang dan belum terselesaikan diturunkan lintas generasi, sisi tajam pisaulah yang diulurkan oleh generasi pendahulu MES 56 kepada mereka yang lebih muda. Tanggung jawab terhadap proses estafet tersebut, tersemat di pundak antargenerasi untuk dapat lantang berbicara sekaligus mendengarkan. Apa yang disebut terakhir, bagi MES 56, ialah sebuah kenyataan yang terelakkan, meminjam adagium seorang fotografer kontemporer populer cum superhero bernama Peter Parker, “with great power comes great responsibility.”

Tulisan ini diterbitkan pertama kali di buku katalog pameran Ruang MES 56 “We Go Where We Now” di Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta, 28 Oktober-18 November 2019.