Pameran Postscript/Notabene ‘Para Pembuat Ayat’: Merespons Residu Kolonialisme
— Muhammad Ichsanudin A, penulis/peneliti Kolektif Arungkala.
Tubuh kita hari ini, nampaknya masih terperangkap oleh residu kolonialisme di masa lalu. Sejak merebaknya industri foto pada tahun 1860-an, kita mengalami bagaimana fotografer Eropa menatap setiap lekuk tubuh kita, kemudian menata dan menduplikasikannya ke dalam bingkai. Melalui tangan sang fotografer, kamera adalah bedil untuk membuat tubuh kita takluk kepada citra dan fantasi romantis yang bertahun-tahun dibebankan kepada kita. Alhasil, kita tak punya kuasa apapun selain menyerahkan tubuh kita untuk dibedah, diangkut ke negara-negara imperium, kemudian ditempatkan sebagai properti oleh sang fotografer.
Meskipun kita telah 78 tahun mensakralkan kemerdekaan, namun residu kolonialisme masih mengendap hingga hari ini. Mereka mengendap di sudut-sudut hajatan kontemporer, di bingkai-bingkai fotografi, hingga berhasil menyusup ke catatan kuratorial. Sekalipun agen kolonial itu telah lama hengkang dari realitas hari ini, namun mereka hanya berganti rupa. Alhasil residu kolonialisme tersebut telah berhasil mengaburkan dan membuyarkan posisi subjek yang tubuhnya sedang diangkut ke ruangan putih.
Jalan Spiritual dalam Imaji Ideal KamarKost
Barangkali residu tersebutlah yang coba direspon oleh KamarKost dalam pameran Postscript/Notabene bertajuk Para Pembuat Ayat. Dalam pameran yang berlangsung selama dua minggu (1-14 Juni 2024) di Ruang MES 56, KamarKost berupaya untuk mempresentasikan esensi laku dan gestur merunduk pada alam, orang tua, leluhur, hingga modernitas. Melalui gestur merunduk, kita dibawa pada spekulasi baru yang menggantung. Meskipun demikian, gestur merunduk jadi pintu masuk menyelami kearifan lokal yang telah menjadi laku sehari-hari masyarakat Dusun Tanjung.
Jauh sebelum KamarKost menggelar hajatan di Ruang MES 56, mereka telah terlebih dahulu hidup bersama warga dan melebur sebagai santri di Pondok Pesantren Al Qodir, Dusun Tanjung, Cangkringan sepanjang 7 bulan lamanya. Proses peleburan ini telah mereka mulai sejak November 2023, sehingga mereka turut ambil bagian dari beberapa peristiwa penting yang dihadapi oleh warga, seperti pemilihan elektoral, lebaran, hingga ketegangan antara penggunaan pupuk alami atau kimia.
Sebagaimana para pemuda Minangkabau yang mengamini konsepsi merantau untuk memperoleh sumber penghidupan mapan di ruang urban, Kamarkost justru mengaburkan konsepsi tersebut dengan menolak peran sebagai pedagang ataupun tengkulak, melainkan sebagai santri yang sedang mencari sumber pengetahuan di ruang desa. Konsepsi merantau inilah yang mereka tekuni sebagai aksi performative, di mana indera dan motorik tubuh diuji untuk melebur pada suatu ruang yang cukup asing bagi mereka, serta melebur bersama warga dan merasakan langsung ketegangan yang mereka alami.
Aksi-aksi performative KamarKost justru bertemu ketegangannya, ketika seorang kiai dari Pondok Pesantren Al Qodir memberi wejangan, bahwa sesuatu yang dilakukan secara intens dan konsisten merupakan wujud dari praktik ibadah. Bagasi pengetahuan tersebut kemudian memigrasikan konsepsi performative, sebagai jalan spiritual yang konkrit. Jalan spiritual yang memunculkan statement atau sikap terhadap tubuh yang kemudian mereka sebut sebagai lelaku.
Sejalan dengan itu, KamarKost meyakini bahwa keseharian adalah sumber pengetahuan. Ritus-ritus yang mereka alami sebagai santri sekaligus warga adalah aksi performative yang berjalan. Sehingga resource mereka terhadap praktik fotografi dan videografi, mereka gunakan untuk melakukan kerja-kerja pengarsipan. Dalam aksi tersebut, mereka turut melibatkan para santri untuk memproduksi arsip melalui gawai, guna merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi secara spontan. Kemudian mereka menghimpunnya menjadi dokumentasi yang telah terkumpul sebanyak 4000 foto, dengan 1300-an foto yang berhasil diolah menjadi kolase.
Pemilihan kolase sebagai medan artistik, tentu tidak lepas dari upaya mereka mendekonstruksi praktik fotografi yang kadung mapan di ruang putih, serta kadung mengebiri posisi subjek terhadap tubuhnya. Praktik fotografi yang diam dan statis, kemudian bergerak sebagai oase ketika setiap kepingnya berhasil mengungkapkan diri dan nasib tubuhnya. Alhasil munculah narasi baru terhadapnya, narasi yang bahkan belum benar-benar terbayang sebelumnya.
Ketika akhirnya kolase tersebut mereka angkut ke Ruang MES 56, KamarKost memasang sikap menolak klaim terhadap karya tersebut. Bahwa kumpulan kolase yang kita saksikan di Ruang MES 56 adalah kumpulan kitab, di mana setiap bingkainya beroperasi sebagai ayat. Sejalan dengan itu, ayat-ayat yang kita selami di dalamnya merupakan karya yang ditulis langsung oleh para warga, oleh para santri, oleh petuah kiai. Mereka sekadar menyusunnya kemudian mendistribusikannya sebagai konstruksi baru yang bertemu publiknya.
Barangkali posisi inilah yang membuat tawaran seni KamarKost bergerak. Seni mereka bergerak, dari satu medan ke medan lain, dari praktik fotografi ke praktik spritual, dari seniman menjadi santri. Alhasil peristiwa yang sesungguhnya bukan terjadi di Ruang MES 56, melainkan keterleburan mereka di Cangkringan. Keterleburan mereka sebagai orang Sumatera di Jawa, sekaligus keterleburan praktik fotografi menjadi manifestasi dari lelaku.
Bunuh Diri Amos Ursia
Meskipun demikian, gugatan serta sikap yang coba dihadirkan oleh KamarKost bukan berarti tidak menyisakan patahan. Patahan inilah yang berhasil dibaca dan direspons oleh Amos sebagai kritikus Postscript/Notabene pada pameran Para Pembuat Ayat. Selain berupaya mengartikulasikan praktik yang telah dijalankan oleh KamarKost selama di Dusun Tanjung, ia juga banyak menelusuri asal-usul ide yang coba dihadirkan oleh KamarKost sejauh 10 tahunnya beroperasi sebagai kolektif.
Penelusurannya terhadap asal-usul ide KamarKost kemudian menemui model konsepsinya, ketika Amos mengklaim bahwa mereka mengoperasikan praktik estetika teror. Berawal dari street art yang menempatkan publik sebagai subjek untuk diintervensi, kemudian praktik KamarKost bermigrasi menuju praktik multidisiplin. Di mana mereka bermain-main dengan berbagai bentuk seperti performance art dan fotografi, sehingga tidak ada metode atau rute estetika tunggal yang dipresentasikan oleh KamarKost.
Sehingga masuk akal apabila KamarKost mampu mengotak-atik konsepsi tentang siapa itu publik dan warga. Sebagaimana ketika ia mengalami langsung siasat KamarKost selama di Dusun Tanjung, Amos merasakan langsung adanya kedekatan dan leburan antara KamarKost dengan para warga.
Akan tetapi, ketika KamarKost mengambil lelaku sebagai jalan spiritual, kemudian menjadikannya sebagai imaji yang ideal terhadap kolektivisme desa, di sinilah letak patahan yang coba disorot oleh Amos. Bahwa apa yang menjadi ideal bagi KamarKost, kenapa hanya berkubang sebagai pikiran seniman semata. Mengapa yang ideal itu, tidak bisa dipikirkan dan diupayakan bersama oleh publik? Kemudian kenapa perenungan KamarKost terhadap lelaku tidak bisa terpapar lebih luas?
Berangkat dari patahan inilah, alih-alih membuat artikel kritik, Amos justru menyusun semacam simulasi di mana medan kritik justru diambil alih oleh penonton. Sehingga penonton ataupun publik dapat terlibat berpikir bersama karya yang ditawarkan oleh KamarKost. Selain itu, ia juga menyusun simulasi lain di mana publik yang selama ini berjarak dengan keterpaparan seni kontemporer, justru menjadi publik yang telah terpapar oleh aktivisme KamarKost.
Alhasil, mencuatlah “Praktik Mencatat Penonton” sebagai simulasi pengambilalihan kritik ke tangan penonton. Dalam praktik ini, Amos menyediakan brosur iklan yang diperolehnya dari media cetak Kedaulatan Rakyat. Praktik ini terinspirasi dari kawannya yang kehilangan STNK kemudian memasang iklan kehilangan di koran. Cara yang sama coba dicangkokkan oleh Amos dengan menyediakan brosur iklan. Para penonton dapat mengisinya dengan catatan atau impresi mereka terhadap presentasi KamarKost. Himpunan catatan itu kemudian akan didistribusikan ke kolom iklan Kedaulatan Rakyat, sehingga medium demokratis yang telah diberikan oleh Kedaulatan Rakyat dapat diberikan pula ke banyak orang.
Simulasi kedua adalah membuat semacam walking tour dengan menggandeng Kolektif Arungkala. Bagi Amos, walking tour adalah pintu masuk untuk menjembatani peristiwa seni dengan publik yang awam sekalipun. Konsepsi walking tour beroperasi sebagai platform yang artikulatif sekaligus ramah, agar publik dapat meresapi secara langsung karya dari KamarKost. Alhasil, apa yang menjadi ideal bagi KamarKost, turut menjadi pikiran sekaligus refleksi bersama dengan publik.
Rangkaian simulasi yang coba dihadirkan, justru adalah upaya Amos untuk membunuh dirinya sendiri sebagai kritikus. Serangkaian simulasi tersebut, telah membawa kritik seni sebagai medan yang bergulir, di mana publik diberi kesempatan untuk mengambil otonominya sendiri.
Publik diberi kesempatan untuk sepakat ataupun tidak sepakat terhadap sikap dan posisi yang ditawarkan oleh Kamarkost. Di sinilah kerja-kerja pengorkestrasian publik dioperasikan oleh Amos, di mana ia membunuh penunggalan atas dirinya yang dikeramatkan sebagai kritikus, sehingga publik tidak terdikte oleh apa yang menjadi risalah bagi kritikus.
Kemanakah Warga memperoleh Otonominya?
Semenjak KamarKost mengangkut ribuan dokumentasi atas laku kehidupan warga, kemudian diorkestrasi sebagai praktik kolase di Ruang MES 56, pikiranku justru berkubang pada kemungkinan hadirnya residu kolonialisme yang masih mengendap di ruangan putih ini. Serta patahan-patahan dari presentasi KamarKost yang justru sedang ditambal oleh Amos melalui rangkaian simulasinya.
Kubangan pikiran tersebut terjadi ketika KamarKost berupaya menelusuri esensi dari laku dan gestur merunduk yang menjadi laku sehari-hari warga Tanjung. Apakah penyerapan mereka terhadap gestur merunduk dari para santri kepada kiai, justru meromantisasi siklus penaklukan yang dialami oleh para santri? Apakah gestur merunduk kepada alam dan leluhur, justru menjadi kewajaran terhadap keterkepungan yang dialami oleh warga terhadap modernitas, terhadap pasar, terhadap gaya hidup serba praktis?
Barangkali patahan inilah yang luput dari presentasi KamarKost. Ketika mereka memutuskan untuk mengalami dan menemukan esensi laku dari gestur merunduk, kita sebagai penonton justru dibawa kabur oleh kepingan-kepingan kolase.
Sehingga laku merunduk jadi semacam spekulasi yang tak benar-benar mampu dibicarakan bersama. Kita dibawa berlari dari satu ayat ke ayat lain, tanpa diberi kesempatan untuk menyerap dan memikirkan laku merunduk dalam keterkepungan kita hari ini.
Pun juga imaji ideal kita terhadap partisipasi publik. Ketika Amos sebagai kritikus justru membunuh dirinya dengan menyerahkan kuasa kritiknya kepada publik, publik memperoleh otonominya untuk sepakat ataupun tidak sepakat dengan presentasi KamarKost. Bagaimana jika mosi sepakat atau tidak sepakat tersebut diambil oleh warga Tanjung? Apakah dengan mengangkut potongan tubuh mereka ke ruang putih, otomatis para warga sepakat dengan representasi ideal terhadap tubuh dan nasib mereka sendiri? Lantas di manakah para warga mengambil posisi otonom tersebut?
Barangkali patahan ini turut mengepung presentasi yang sedang digulirkan oleh KamarKost. Posisi dan sikap yang coba dihadirkan oleh pameran Para Pembuat Ayat justru terjebak untuk menyoroti perihal bentuk, patronisasi seni, dan siasat publik. Kita jadi luput membicarakan kepingan yang dialami oleh para warga Tanjung, sebagaimana gagasan merunduk sebagai pintu masuk bagi KamarKost untuk menyelami dan mengetahui esensi dari laku merunduk. Bahkan kita luput menghadirkan warga dan menyediakan ruang otonom kepada posisi mereka.