Di Mana Ada Pameran, (Barangkali) di Situ Ada Persoalan
— Arlingga Hari Nugroho
“Karena aku nggak mau dibatasi frame itu,” ucap Pidi Baiq di sela-sela kegiatan menata karya di ruang galeri, “Yang penting aku kan nyaman.”
Sama seperti banyak pameran seni rupa lainnya, persoalan tak pernah benar-benar pudar dari ruang galeri sekalipun kemapanan dan popularitas senimannya sudah menjulang. Di Pendopo Ajiyasa, Jogja National Museum, Yogyakarta, empat seniman ternama menggelar pameran seni bertajuk DCDC Yogyes in Absurdum. Selain Pidi Baiq dan Sirin Farid Stevy, ada juga urun karya fotografi dari Agan Harahap dan Bonnie Hermansyah. Dalam pameran tersebut, keempat seniman menampilkan karakter khas dari praktik keseniannya masing-masing. Ada persoalan-persoalan yang tetap ngikut di setiap karya yang dipamerkan di ruang galeri.
Pelukis, penulis, dan musisi Pidi Baiq menampilkan dua jenis karya lukis yang pernah dikerjakannya selama beberapa waktu terakhir. Plus satu tambahan instalasi yang dilukisnya in situ sehari sebelum pembukaan pameran pada Selasa, 22 November 2022. Jenis karya pertama; dua lukisan potret sang istri ditampilkan di selasar persis sebelum menuju ruang utama pameran dari Pidi Baiq dan Farid Stevy. Karya lainnya yang ditampilkan Pidi Baiq adalah sederet lukisan ‘besar’ yang hampir memenuhi setengah ruangan. Menariknya, dua karakter berbeda ini merupakan persoalan yang dialami oleh Pidi Baiq.
Pidi Baiq bercerita bahwa karakter lukisannya saat ini cenderung mengekspresikan apa yang ingin disampaikannya melalui medium seni, terutama seni rupa. Teknik melukis ini juga membebaskan Pidi Baiq dari kewajiban mengikuti kaidah-kaidah menggambar yang sering kali justru membuat dirinya terkekang dan harus berhati-hati. Memang, sangat nampak sekali perbedaan di antara lukisan potret di selasar tadi dengan karya lukisan ‘besar’ yang cenderung mirip bentuk doodle.
Kurator Arsita Pinandita menuliskan dalam pengantar kuratorialnya bahwa sosok Pidi Baiq menggoreskan kuasnya dalam bentangan kanvas besar dengan objek figuratif naif nan konyol. Meskipun objek yang dihadirkan terkesan absurd dan penuh candaan, tapi gagasan yang dimunculkan justru mewakili problematika sosial-politik Indonesia. Misalnya saja simbol-simbol kekuasaan ditampilkan dalam wujud sosok yang membawa pedang, polemik pemilu mewujud banteng besar, ada juga ocehan-ocehan netizen yang digambarkan sebagai anjing yang menggonggong.
Objek-objek absurd tersebut kemudian menjadi manifestasi dari kebercandaan yang dipakai Pidi Baiq sebagai jalan ninja untuk membicarakan hal-hal sepele hingga problematis yang kerap lalu lalang di kehidupan sehari-hari.
Sedangkan seniman Sirin Farid Stevy tak kalah absurdnya dengan menghadirkan hampir seluruh praktik kerja keseniannya di dalam ruang galeri tersebut. Ketidakjelasan pola berkesenian dari perjalanan artistiknya, menurut Arsita Pinandita, justru mengantarkan Farid Stevy pada praktik yang tumpang tindih antara kerja seni komersial dan idealis. Persoalan yang mungkin sama juga dirasakan oleh para pegiat seni lainnya yang mencoba membagi praktik kerja komersial dan idealis.
Beberapa praktik kerjanya menjadi jalan untuk menyambung hidup sebagai kerja komersial, selebihnya adalah bentuk katarsis dari apa yang ingin disampaikan Farid Stevy. Selain handal menggoreskan warna hitam-merah-putih yang menjadi ciri khas corak karyanya, Farid Stevy juga kerap menggelontorkan teks-teks unik hasil tangkapannya terhadap realitas yang mungkin kadang terlihat absurd. Teks-teks tersebut yang kemudian digelontorkan Farid Stevy saat melukis di atas kanvas maupun yang menjelma menjadi lirik di lagu-lagu band FSTVLST (baca: festivalis). Tema-tema semacam kemandirian, harapan, keyakinan, alam raya, hingga polemik tragedi 65 tak luput dibagikan Farid Stevy di kekaryaannya.
Sebelum menenggelamkan diri di antara karya seni Pidi Baiq dan Farid Stevy, ada sederet karya di selasar depan yang menampilkan karya seni dari Agan Harahap dan Bonnie Hermansyah. Keduanya memajang karya fotografi dengan karakter berbeda. Misalnya saja Bonnie Hermansyah yang mengabadikan konsep bertani sebagai wujud nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia. Bertani, bagi Bonnie ,barangkali merupakan dinamika sosial yang justru melampaui persoalan tentang kebutuhan ekonomi saja. Ada persoalan lingkungan, penggusuran lahan, hingga suatu pengetahuan tentang hasil pertanian yang coba diselipkan Bonnie dalam karyanya.
Lain halnya dengan karya seni milik Agan Harahap. Dengan teknik manipulasi foto, Agan menampilkan karya berjudul ‘Visit Indonesia’. Karya-karya ini merupakan rangkaian panjang yang telah dikerjakannya sejak tahun 2013 lalu. Kebercandaan, lagi-lagi jadi ‘jalan ninja’ untuk membicarakan persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar.
Di era modern seperti sekarang ini, tebaran foto dengan sangat mudah dijumpai di segala platform digital dalam genggaman tangan. Sebagian orang memaknai fotografi sebagai alat dokumentasi dan klaim atas orisinalitas sebuah peristiwa. Persoalan ini yang kemudian dikulik Agan dengan keluar dari batasan fotografi konvensional. Lewat karya-karyanya, Agan memoles citra fotografis sebagai post truth; era di mana kebohongan dapat disepakati sebagai sebuah kebenaran.
Agan telah memodifikasi wajah-wajah ‘orang penting’ untuk hadir dalam peristiwa sehari-hari. Alhasil, bentuk candaan seperti manipulasi peristiwa Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un berdiri di pinggir sebuah angkot jadi lelucon yang terpampang di galeri pameran.
Mengunjungi pameran Yogyes in Absurdum rasanya tak jauh berbeda dengan belajar membaca teks absurd. Absurditas hadir dalam kemasan yang berbeda-beda, tetapi masih berkisar di antara persoalan kehidupan sehari-hari. Bentuk-bentuk kemustahilan, penyimpangan, dan ketidaklogisan jadi siasat para seniman untuk membicarakan persoalan penting (atau tak penting) dengan kebercandaan. Sebab betapapun absurd dan ganjilnya bagi akal yang lurus, ia tetap saja bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ya, di mana ada pameran, barangkali di situ masih akan terus ada persoalan.