Bunga Rampai Pengawasan dan Penerawangan – Teks Kuratorial Pameran “Surveying Surfacing”
— Indeks (Bandung, Indonesia)
I
1964 – 1971
Menjelang senjakala Demokrasi Terpimpin, transformasi Sekber Golongan Fungsional menjadi sebuah parpol ikut dibidani oleh seorang “dukun” politik. Perwira militer ini gandrung akan ramalan Jayabaya yang menubuatkan tatanan stabil bernegara. Terawangan politiknya ampuh. Restunya mengamini pohon beringin sebagai simbol. Lewat sulur-sulurnya, pohon bertuah ini diyakini membawa semangat mengayomi dan menyatukan. Pohon yang awalnya jadi salah satu elemen lambang negara, lantas terkooptasi pada satu kendaraan politik praktis yang menggurita selama lebih dari tiga dekade setelahnya.
II
2008
Pada pameran besar seni rupa Manifesto pertama di Galeri Nasional Indonesia, Wok the Rock menghadirkan citra fotografis sebuah pohon beringin. Pohon pada karya bertajuk The Great Banyan Disorders: Culture tersebut tampak berdiri kokoh, asri, rindang, sekaligus angker dan mistis. Sejak peradaban animisme masih mendominasi keyakinan masyarakat Nusantara, pohon ini lekat dengan sejumlah asosiasi metafisis serta memiliki posisi penting dalam spiritualitas masyarakat. Pohon beringin adalah tempat warga desa Trunyan meletakkan jasad kerabat mereka, tempat penduduk gunung api Nglanggeran mempersembahkan sesajen, dan juga simbol hayat bagi warga keraton Yogyakarta.
Namun, menilik lebih dekat ke sebelah kanan pohon beringin tersebut, tampak seekor anjing sedang mengangkat satu kaki dan kencing. Hal yang kebanyakan manusia di Indonesia tidak berpikir untuk melakukannya.
III
2022
Menantang kesakralan, empat belas tahun kemudian manusia justru hadir dan melakukan hal serupa pada sang pohon. Wok the Rock kembali berspekulasi dengan sejumlah “penistaan”. Kali ini pohon beringin tersebut digambarkan penuh dengan timbunan barang rongsok, tempat apparat sipil negara mangkir absen untuk berasyik masyuk, masuk dalam masterplan kontraktor pengembang, dan tempat pelajar mengakhiri hidup. The Great Banyan Disorders (Series) hadir menggugat wibawa sang pohon besar.
IV
2022
Pada Surveying Surfacing, pohon beringin bersanding dengan citra fotografis lainnya, seperti relief petugas polisi dan arsip hunian tipikal Perumnas. Konstelasi ini memperluas asosiasi citra pohon beringin dari sekedar penanda entitas ekologis dan klenik, ke spektrum politik Indonesia (baca: Orde Baru). Layaknya relief aparat lalu lintas pada seri foto Di Dinding Kota Aku Temukan Para Anggota karya Akiq AW, yang catnya terkelupas, retak, dan ditimpa vegetasi liar, pohon beringin pada foto Wok juga tidak ditampilkan sebagai sebuah penanda otoritas negara yang adiluhung. Kedua karya tersebut tidak diciptakan sama; Di Dinding Kota Aku Temukan Para Anggota adalah sebuah dokumentasi fotografis, sedangkan The Great Banyan Disorders (Series) merupakan apropriasi spekulatif. Namun demikian, apropriasi dan dokumentasi ini merekam hal yang sama: memudarnya sebuah era kekuasaan tunggal.
V
1949 / 1984
Dalam dongeng dystopia Orwellian, kepatuhan tidak (hanya) didorong oleh pengawasan langsung melalui telescreen. Kepatuhan juga dibentuk melalui peringatan berulang-ulang bahwa khalayak dalam pengawasan. Perangkat peringatan bukanlah berupa sebuah teknologi transmisi informasi, melainkan secarik kertas dengan sebait kalimat atau wajah bung besar sebagai penanda otoritas. Di Indonesia, kepatuhan juga diusahakan lewat emulasi pengawasan oleh polisi yang terbuat dari beton atau himbauan untuk melaporkan tamu yang berkunjung lebih dari 1 x 24 jam.
VI
1974
Satu dekade pasca Orde Baru berkuasa dan meletakkan dasar “stabilitas”, protes mahasiswa berskala besar pertama pecah. Soeharto sadar bahwa generasi baru telah lahir; generasi yang tidak disatukan atau berbagi pengalaman yang sama dengan revolusi fisik. Rezim ini perlu mendefinisikan ulang pembangunan manusianya untuk Indonesia modern. Pendekatan pembentukan keluarga yang humanis dan harmonis dipilih untuk menciptakan generasi selanjutnya yang lebih beradab dan patuh. Dan Soeharto menempatkan dirinya menjadi sang “kepala keluarga”.
VII
2000 / 1975 / 1991
Abidin Kusno secara spesifik menggaris bawahi pergantian konsep pemimpin populis ala “bung”, yang dilekatkan pada ketua Demokrasi Terpimpin, menjadi konsep “bapak” sebagai figur yang membimbing dan mengayomi. Seketika presensi visual otoritas di periode ini bertambah dengan bertebarannya foto sang presiden yang tersenyum di billboard dan televisi. Sebagai “kepala keluarga”, Soeharto merujuk pada gagasan “Tut Wuri Handayani”, dimana anak diberikan kesempatan untuk belajar dan mendisiplinkan diri melalui pengalaman, pemahaman, dan usahanya sendiri. Yang perlu seorang orang tua lakukan hanyalah melakukan pengawasan dan bimbingan agar anak tidak membahayakan dirinya atau orang lain. (Kusno, 2000)
VIII
1986
Populisme bung besar dibangun lewat revolusi di jalan-jalan dan pembangkangan atas hegemoni asing. Bagi Soeharto, konsep tersebut harus digantikan dengan institusi yang lebih domestik dan beradab: rumah. Siegel menekankan pangkal gagasan jalanan sebagai sumber bagi segala yang mengancam dan tidak teratur telah lama dikenal di Jawa. Ia mempostulatkan, kebalikannya dari rumah, jalanan sering dipandang sebagai ruang ketidakpastian, penuh dengan kegilaan dan segala yang menyeramkan. Pembangunan hunian domestik adalah usaha yang perlu diperluas hingga ke titik terluar perkotaan. Usaha-usaha ini, lanjut Kusno, hanya bisa terjadi di negara yang warganya patuh, yang tahu tempatnya, dan tidak tersesat di jalan serta keramaian. Usaha ini menemukan contohnya pada komunitas “kelas menengah” yang ruang tinggalnya berfungsi tidak hanya sebagai ruang dominasi dan eksploitasi, tapi juga proses formatif yang bersinergi bagi tujuan negara. (ibid)
IX
1976
Tidak ada rangkuman yang lebih bernas tentang pengamatan dan catatan yang dilakukan oleh Kusno dan Siegel, dibandingkan siaran berita yang berhasil ditangkap oleh Dito Yuwono dalam Sarana Bina Keluarga. Perumnas yang diresmikan Soeharto diluncurkan sebagai sebuah paket pembangunan tata kota ke wilayah satelit dan sekaligus pembentukan karakter manusia sesuai dengan agenda pemerintah.
Berita tentang bapak pembangunan coba diingat Dito lewat lapisan-lapisan arsip foto rumah tanpa presensi manusia. Bukan katalog pengembang, bukan arsip majalah interior, arsip keluarga ini adalah catatan bahwa presensi teknologi fotografi makin menjangkau rumah tangga tanpa perlu adanya kebutuhan mengabadikan momen para penghuninya.
X
1998
Pemerintahan Orde Baru Indonesia berakhir di penghujung millennium. Ini adalah masa dimana dot com bubble menyapu pasar bursa di Amerika dan keterhubungan lintas negara secara lebih mandiri adalah hal yang niscaya. Pasca reformasi, liberalisasi media, transformasi budaya visual yang cepat, pergantian sitausi politis dan ranah sosial memainkan peranan penting. Ini membuat hal-hal terdesentralisasi; adopsi teknologi non-negara. (Kusuma, 2013)
XI
2016
Untuk pertama kalinya setelah setengah abad, pemerintah Indonesia menggelar simposium yang membahas peristiwa 1965. Simposium ini digelar oleh kantor Kemenkopolhukam bersama Komnas HAM dan Dewan Pers. Para penyintas dan pelaku hadir untuk bercerita. Negara tidak meminta maaf.
Di paruh kedua dekade ini, teknologi AI sudah semakin jamak dijumpai hingga ke tataran konsumer. Di jagad maya, akun Instagram pewarna arsip foto monokrom merengguk followers, data scientist menjadi primadona baru lowongan kerja, inisiatif Foresic Architecture mengumumkan bekerja dengan “synthetic images”, dan data peserta BPJS bocor.
XII
2022
Inisiatif menulis ulang sejarah peristiwa 1965 terus berlangsung secara mandiri di tengah masyarakat Indonesia. Rangga Purbaya adalah salah satu pelaku seni dan budaya yang mencoba mengaplikasikan teknologi neural network untuk memperoleh citraan portret dari orang-orang yang menjadi tumbal pengambilalihan kekuasaan. Sebagai sebuah instrumen, teknologi kecerdasan buatan bergantung pada data yang tersedia untuk diingat oleh sang mesin. Semakin banyak fragmen informasi terkait sebuah subyek terinput dan bersirkulasi, maka semakin mudah kecerdasan buatan mengelola data dan mensintesis informasi olahan baru. Sayangnya, narasi dan informasi visual pada sisi korban peristiwa 1965 adalah hal-hal yang terlalu lama ditabukan untuk dibicarakan, diingat, apalagi dicatat secara formal. Pada karya Rangga, citraan wajah cukup memang berjarak dari sifat visual fotografis, namun demikian, karakter facial masih sangat jelas untuk bisa dikenali dan diingat. Dalam usaha untuk mendapatkan informasi sintesis terkait peristiwa 1965, bisa jadi institusi kecil setingkat keluarga atau kerabat menjadi tempat terakhir untuk mendulang data. Generasi memang akan berganti dan lupa adalah ancaman paling laten. Pengolahan data yang dilakukan oleh Rangga adalah penyegeraan untuk mengawetkan ingatan.
XIII
2021
Setahun setelah Covid 19 ditetapkan menjadi pandemi global, vaksin telah melewati uji klinis dan tersertifikasi untuk diberikan kepada publik. Tapi bukannya tanpa penolakan. Menariknya, penolakan atas pemberian vaksin ikut didasarkan pada disinformasi atas adanya teknologi microchip pelacak yang ditanamkan ke tubuh manusia. Sebuah teknologi yang sebetulnya cukup umum diaplikasikan ke hewan, kucing contohnya.
XIV
2022
Melihat After Vaccine karya Gobi, sebetulnya akan sulit untuk mentertawakan disinformasi yang pernah dipercaya banyak orang. Foto komponen elektronik yang membekas di balik kulit lengan atas tersebut bukanlah sebuah apropriasi yang komikal. Tanpa microchip yang ditanamkan ke dalam tubuh, konsekwensi penanganan pandemi memang telah jauh melintasi batas privasi. Sistem besar yang dikelola oleh otoritas negara menguhubungkan banyak informasi personal dan meregulasinya secara ketat. Sertifikasi vaksin terhubung dengan nomor kependudukan dan menjadi prasyarat untuk berperjalanan dan mengakses ruang-ruang publik. Belum lagi aturan untuk selalu memindai QR code yang artinya merekam keberadaan individu pada lokasi dan waktu tertentu.
XV
2021
Penanganan pandemi bukanlah yang pertama dalam membuat informasi individu selalu dalam pantauan. Integrasi data dan kewajiban untuk terdaftar resmi pada sebuah jaringan formal secara perlahan terus diimplementasikan oleh negara. Tanpa nomor induk kependudukan yang sinkron, agak sulit bagi individu untuk membuka rekening atau mendaftarkan nomor ponsel. Rencana kebijakan paling mutakhir dari usaha ini adalah mewajibkan keanggotaan BPJS bagi kepemilikan tanah dan properti. Tidak berhenti di antara negara dan khalayak, sejumlah instrumen legal juga diterbitkan untuk meregulasi swasta untuk menerapkan integrasi data yang sama kepada konsumennya.
Kepatuhan, pada tahap ini, tidak selalu perlu ditegakkan lewat tindakan langsung atau peringatan yang berulang-ulang. Sistem yang diciptakan sebenarnya makin tidak menyisakan banyak ruang untuk menghindar jika seseorang ingin menjadi bagian dari tatanan sosial.
XVI
2022
Masing-masing dari para seniman di pameran ini tumbuh menyaksikan periode kekuasaan politik yang berbeda-beda. Mereka memiliki persepsi dan pengalamannya sendiri atas moda produksi citra; moda produksi yang pada pameran ini ditempuh secara berbeda-beda untuk merekam, mengingat, menulis ulang, hingga menandingi otoritas negara dalam membentuk kepatuhan khalayak. Dalam rentang waktu enam dekade, pembangunan karakter manusia ini dilakukan lewat pembangunan infrastruktur, karisma politik electoral, hingga regulasi teknologi informasi.
Surveying Surfacing adalah bunga rampai catatan usaha untuk membentuk kepatuhan yang terus menerus digagas setelah yang sebelumnya menjadi usang.
Indeks