Ada Lanskap yang Melampaui Imaji
— Arlingga Hari Nugroho
Di tengah arus peradaban yang bergerak semakin cepat, selalu ada serpihan kisah yang membekas dalam ingatan. Sering kali, ingatan menyeruak berbarengan dengan rangsangan yang dialami ketika berhadapan dengan sebuah karya seni. Fotografi kemudian jadi salah satu ‘jalan ninja’ yang menyenangkan untuk terus merekam realitas yang terjadi dan hal-hal imajinatif yang singgah dalam tiap ingatan. Fotografi tidak lagi hanya dilihat sebagai kerja memotret dan mencetak di atas kertas saja, atau hanya suatu karya yang berakhir hampa tergantung di dinding yang dingin. Lebih dari itu.
Eksplorasi teknik dasar fotografi, bentuk estetika, dan keinginan untuk menyampaikan pesan tertentu patut digarisbawahi dari perjalanan panjang medium fotografi itu sendiri. Ada beragam lapisan politis yang kemudian menyampingkan perbincangan tentang daya tarik estetika lanskap. Hal inilah yang kemudian telah dilakukan oleh keempat seniman dari kolektif MES 56. Dalam pameran Unturned Stone, Unclimbed Mountain, praktik fotografi yang beragam dapat tercermin dari masing-masing karya yang membicarakan hal-hal personal tentang bentuk lanskap dalam ingatan dan makna realitas.
Gagasan dari proyek ini berangkat dari praktik fotografi masing-masing seniman MES 56 ketika membayangkan makna lanskap. Tanpa disadari, pencarian tentang makna lanskap justru melampaui apa yang telah dibayangkan di dalam pikiran. Dari situlah, kemudian bagaimana seniman Akiq AW, Fajar Riyanto, Yudha Kusuma Putera, dan Muhammad Alfariz mempraktikkan fotografi lanskap dengan penekanan yang berbeda.
Alhasil, titik pijakan ini justru mengupas berbagai lapisan dalam seni fotografi secara esensial maupun estetik. Sebagian membicarakan eksplorasi laku fotografer dengan perangkat produksinya sehingga menemukan bentuk lanskap, sebagian lainnya memilih menggunakan fotografi lanskap untuk membicarakan hal-hal penting di lingkungannya seperti advokasi. Selain itu, ada juga yang berusaha untuk menampilkan fotografi lanskap keluar dari tradisi fotografi seperti duplikasi (reproduksi, tiruan) bentuk dengan beragam medium yang tidak hanya sebatas print atau screen.
Akiq AW
Menelusuri lebih dalam praktik kerja dari medium fotografi masih jadi tantangan tersendiri bagi seorang seniman. Akiq AW melalui ketiga karyanya, telah berupaya untuk memahami sejauh mana praktik fotografi, digital imaging, dan AI generated image berperan dalam produksi suatu karya. Upaya ini berkutat pada proses produksi dan konsumsi gambar yang berkelindan dalam keseharian pelaku seni. Ibarat pelukis yang menggoreskan kuas dengan tajam, Akiq AW mencoba menciptakan imaji visual tentang lanskap yang berbeda dengan beragam teknik fotografi dasar.
Misalnya saja bagaimana fitur artificial intelligence (AI) berperan memunculkan bunga merah dalam karya ‘Everything is An Old Tree When You See Through the Radiating Glasses’. Ada juga karya berjudul ‘I Choose to See The Flying Grains’ yang merupakan hasil pengaplikasian teknik fotografi dasar; selective focus. Lain lagi misalnya dengan karya berjudul ‘It Takes Me 720 Seconds of Waves to See in The Dark’ yang merupakan ketepatan waktu lensa kamera menangkap cahaya dalam kegelapan sehingga menciptakan imaji yang kontemplatif. Karya-karya ini secara tidak langsung jadi catatan penting bagaimana pelaku seni, melalui medium fotografi, punya kesempatan yang luas untuk terus melakukan eksplorasi atas teknik-teknik dasar. Hasil eksplorasi ini kemudian menjadi jalan panjang yang ditempuh Akiq AW untuk melihat kembali seperti apa manusia bertukar pesan, mengekstrak makna, dan mengartikulasi kenikmatan dalam hidupnya.
Fajar Riyanto
Berbeda dengan yang dilakukan Akiq AW, seniman Fajar Riyanto justru menitik beratkan pada praktik fotografi sebagai momen merekam realitas sosial yang terjadi. Tidak sedang berusaha untuk menampilkan objek fotografi dalam bentuk bentangan alam saja, ada kisah penting yang tergambar dalam tiap potretnya. Beragam pertanyaan dihadirkan Fajar melalui karya seni berjudul ‘Fortress Landscape’: Mengapa memotret dinding putih dan pagar besi? Bagaimana dengan gambar rumah yang setengah rubuh? Lalu kisah apa yang terselip di antara dinding rumah warga dan dinding benteng keraton?
Karya ini kemudian menawarkan perspektif yang berbeda sebab di dalamnya ada intervensi berbagai kepentingan seperti ekonomi, sosial, budaya, atau politik. Tumbuh berkesenian di perkotaan Yogyakarta, membuat Fajar peka untuk merekam lanskap kota yang terus berubah dari waktu ke waktu karena kepentingan tertentu. Salah satu persoalan yang tersirat dalam karya tersebut adalah proyek penyambungan dan pembangunan tembok benteng keraton yang telah dimulai sekitar tahun 2019 lalu.
Medium fotografi dipilih Fajar sebagai perpanjangan tangan untuk menampilkan kehidupan warga di wilayah yang menempel dengan njeron (bagian dalam) benteng. Ada pertaruhan hidup atas lahan dan wilayah untuk masa depan yang dialami sekelompok warga. Lebih jauh, praktik ini mengingatkan kita tentang fotografi yang menjadi alat pendeteksi untuk melihat relasi antara warga dan lanskap kota.
Yudha Kusuma Putera
Lalu bagaimana misalnya dengan praktik fotografi yang dilumuri imaji atas alam bawah sadar? Seniman Yudha Kusuma Putera telah memulainya dalam seri karya berjudul ‘Pantai Nglambor_Repro Photo’. Berangkat dari analisis Sigmund Freud tentang cara kerja mimpi, Yudha dengan terampil membangun relasi antara ingatan dan ketertarikan manusia. Menariknya, ketertarikan seseorang yang tersimpan dalam alam bawah sadar sering kali mewujud dalam bentuk-bentuk fragmen yang hadir dalam mimpi. Proses inilah yang coba dipakai oleh Yudha untuk merangsang dunia alam bawah sadar manusia.
Melalui pendekatan personal serta campur tangan fotografi, Yudha ingin melihat ulang bagaimana relasi antara manusia, manusia dengan benda, dan manusia dengan alam.
Sebagian dari seri karya ‘Hasrat dan Tatapan’ kemudian dipilih Yudha untuk direka ulang (repro) dengan medium lain. Pilihan ini dilakukan Yudha saat mempertimbangkan proses karya itu hadir. Anggapan tentang medium lukis atau drawing berdasarkan imaji dari foto, diyakini Yudha bahwa imaji lebih dulu hadir sebagai imaji fotografi. Hasilnya, imaji visual foto dan reka ulang foto dihadirkan secara bersamaan sebagai harapan bahwa medium fotografi dapat setara bahkan terkadang mendahului medium lainnya.
Muhammad Alfariz
Punya titik berangkat yang hampir sama, seniman muda Muhammad Alfariz juga memilih mimpi sebagai sketsa dalam kekaryaannya yang berjudul ‘Tamasya Di Ujung Malam’. Hadir sebagai hal personal, Fariz dengan cermat mampu menyusun jejak-jejak perjalanan mimpinya melalui praktik medium fotografi. Sadar bahwa setiap individu memiliki batas kemampuan untuk mengingat mimpi, fragmen yang dihadirkan Fariz kemudian mewujud dalam potongan-potongan gambar (kolase) yang dirangkai.
Ada dominasi fotografi tentang lanskap yang kemudian coba ditimbun dengan elemen kejutan dan objek tak terduga yang ditempatkan saling berdekatan. Ada lanskap yang kemudian melampaui imaji ketika potongan foto disusun sedemikian rupa menjadi ‘dunia baru’. Hasil ini adalah bentuk-bentuk surealis yang mengingatkan kita akan dimensi alam bawah sadar yang personal dan emosional bagi seseorang.