The Allure of the Selfie: Instagram and the New Self Portrait
— Ulasan buku oleh Fiky Daulay
Judul buku: The Allure of the Selfie: Instagram and the New Self Portrait
Penulis: Brooke Wendt
Tahun: 2014
Penerbit: Institute of Network Cultures
Selfie tidak begitu saja jatuh dari langit. Wendt mengawali buku ini dengan perkembangan pengaruh iklan produk kamera Kodak, Sprint, iPhone hingga Instagram. Dari masa ke masa, teknologi self-portrait membentuk identitas melalui: ilusi kontrol, kekekalan diri sebagai data, dan akumulasi data. Tentu saja fotografi sebagai memorial diri bukanlah hal yang baru. Namun, penggandaan memorial diri melalui image-sharing di Instagram memiliki nilai kekinian dan tidak terpisahkan dari teknologi sebelumnya.
Gagasan kritik terhadap selfie berangkat dari konsep McLuhann atas Narcissus. Seperti ia yang terperangah mati rasa ketika melihat refleksi dirinya, selfie mewakili kesalahpahaman serupa. Alih-alih melihat wujud diri seutuhnya, Instagram mengkondisikan identitas melalui keterbatasan teknologi. Sebagai contoh, hasil foto yang diunggah untuk mewujudkan identitas seseorang didorong oleh kemudahan real-time image sharing. Identitas kemudian tidak lagi bergantung pada diri, tetapi pada aturan kamera smartphone ataupun fitur Instagram.
Buku ini mampu melihat detil-detil yang mengasyikan untuk dinikmati. Ulasan tentang fitur filter dan hashtag di Instagram dimuat dalam dua buah esai tersendiri. Penulis tampak sepakat dengan ide Flusser mengenai fungsi warna sebagai pembawa pesan dalam citra. Menggabungkan beberapa filter “warna” zaman tertentu demi estetika instan, menunjukkan kemampuan penambahan “beban waktu” untuk memperkuat identitas di masa sekarang. Tetapi, kemudahan fungsi tersebut mengabaikan nilai fisik dan waktu tertentu sebuah identitas.
Hashtag lalu dibaca sebagai metadata yang dapat mengaburkan pemaknaan suatu citra. Walaupun fitur ini memungkinkan sebuah identitas untuk bergabung dengan komunitas melalui hashtag yang sudah ada. Namun, di sisi lain, makna identitas dikesampingkan oleh hashtag yang terlebih dahulu dilihat sebagai “konten” meta citra selfie.
Di bagian akhir, bahasan mengenai selfie kian menarik. Selfie membentuk hubungan yang berlawanan antara keterbatasan teknologi dan identitas. Seiring semakin klisenya bentuk pose seperti senyuman atau “duckface”, wujud-wujud identitas pun bersaing untuk mereproduksi bentuk lain karena terbatasnya teknologi. Pertanyaan penting dari buku ini bukanlah apakah identitas perlu digambarkan melalui bentuk #selfiealternatif. Tetapi, bukankah wujud identitas bersifat jamak dan tidak pentingkah kebutuhan untuk melindungi wujud citra atau identitas kita? Sulit rasanya untuk tidak sepakat dengan Wendt. Di zaman di mana ruang publik dan privat cenderung kabur, identitas bersamaan hadirnya dengan kamera smartphone instan. Upaya menggali hubungan antara selfie dan identitas tidak hanya relevan, namun juga mencerahkan. Kumpulan esai ini menjelaskan fenomena selfie yang tidak bisa dibilang remeh.
Buku bisa dibaca dan diunduh bebas di tautan ini.
Fiky Daulay adalah peneliti yang aktif di KUNCI – Forum Belajar dan Kolektif