Jauh di Sana, Dekat di Sini: Membicarakan Perantauan pada Baan Noorg Biennial 2024
— Juanda M Arvis, seniman MES 56
Praktik kerja kolektif tentunya memiliki dinamika yang sangat beragam, terutama upaya dalam menyatukan dan menyelaraskan visi untuk menghadirkan sebuah gagasan dan wacana yang utuh sebagai akses untuk melancarkan dan menyukseskan suatu proyek yang dijalankan. Hal tersebut menjadi tantangan bagi tim Ruang MES 56 yang terlibat dalam proyek Baan Noorg Biennial 2024.
Baan Noorg Biennial merupakan sebuah gelaran seni biennial yang dilaksanakan di Nongpho, Thailand. Program ini diinisiasi oleh Baan Noorg Collaborative Art & Culture sebagai salah satu upaya menjaring ruang dalam praktik seni kontemporer. Pada edisi Baan Noorg Biennial yang ke-4, Ruang MES 56 mendapatkan tawaran untuk berpartisipasi mengisi salah satu ‘pavilion’ ruang pamer yang telah disediakan. “Diaspora” merupakan tajuk yang ditawarkan sebagai gagasan utama untuk dikembangkan dan diproyeksikan melalui pendekatan praktik seni. Hal tersebut menjadi bumbu yang menghiasi Ruang MES 56 Pavilion di Baan Noorg Biennial 2024.
Ruang MES 56 membawa gagasan “Perantauan” dalam merespon tema “Diaspora” yang ditawarkan oleh Baan Noorg Biennial 2024. “Perantauan” merupakan sebuah fenomena migrasi domestik. Di Indonesia, Perantauan telah menjadi bagian integral dari struktur sosial dan kultur, karena terdapat beberapa kebutuhan bagi para perantau yang menyangkut pada aspek-aspek kebutuhan hidup untuk merantau meninggalkan kampung halaman dan pergi ke daerah tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, Ruang MES 56 mencoba untuk merefleksikan dan mengupayakan narasi penting terkait dinamika pada peristiwa merantau yang berdampak pada diversifikasi budaya dan dinamika mobilisasi yang dirasakan oleh para perantau.
Perantauan dan Diversifikasi Budaya
Perantuan merupakan fenomena yang dapat berdampak terhadap diversifikasi budaya. Menurut Stuart Hall (1990) keberagaman dan pluralitas merupakan aspek penting dari identitas budaya yang dinamis, Hall percaya di balik para perantauan berhadapan dengan tantangan dan kompleksitas, mereka juga membawa sumber kekuatan dan inovasi dalam menghasilkan budaya yang lebih beragam dan inklusif. Hal tersebut berelasi pada salah satu karya yang disajikan dalam Baan Noorg Biennial 2024, yakni Berlayar Mendengar, Melabuh Bertumbuh (2023) yang mengangkat fenomena masyarakat Orang Pulo di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Proyek seni ini berfokus untuk menjaga eksistensi latar belakang dan sejarah Pulau Panggang. Pendekatan etnografi dilakukan oleh Alam Alfa, Arief Budiman dan Vandy Rizaldy dengan menggali cerita-cerita yang telah menjadi bagian serta pilar kehidupan Orang Pulo di Pulau Panggang.
Mayoritas penduduk Pulau Panggang dihuni oleh Orang Pulo sebutan untuk masyarakat Kepulauan Seribu. Menariknya, Orang Pulo berasal dari beberapa suku yang terdapat di Nusantara, tiga suku utama diantaranya suku banten, melayu dan bugis. Pada abad ke-17 banyak orang dari suku-suku tersebut mulai berdatangan dengan berbagai tujuan seperti berdagang dan mencari ikan. Lalu pada era kolonial sekitar tahun 1940-an ketika Jepang menduduki Indonesia, terdapat banyak orang-orang dari suku lain yang berimigrasi ‘merantau’ dan menetap di Pulau Panggang.
Pulau Panggang dipercayai sebagai pulau yang tepat pertama kali Orang Pulo datang dan melangsungkan kehidupan. Berdasarkan penggalian data yang didapatkan pada proyek Berlayar Mendengar, Melabuh Bertumbuh (2023) mencoba untuk menelusuri jejak leluhur melalui makam-makam yang terdapat di Pulau Panggang. Seperti makam Ki Darah Putih yang konon dianggap sebagai orang yang pertama kali menghuni dan datang di Pulau Panggang bersama teman-temannya, yakni Kapiten Saudin, Ki Penter, Daeng Baba dan Ki Bonot. Konon kehadiran mereka di Pulau Panggang karena berhenti dan terdampar ketika menghadapi serangan musuh. Berdasarkan cerita masyarakat yang berkembang, Ki Darah Putih dikatakan memiliki nama asli Karaeng Barahudin atau Burhanudin dan berasal dari Mandar. Kemudian terdapat makam-makam dari tokoh penting lainnya, beberapa dianataranya seperti Nek Guru yang dikenal sebagai ulama dan guru mengaji, Habib Ali sebagai wali kramat Pulau Panggang dan Nek Sadeli yang dikenal sebagai seorang ahli agama dan guru silat serta mendirikan perguruan silat di Pulau Panggang. Dan masih banyak makam-makam lainnya yang di dokumentasikan sebagai bentuk untuk menggali jejak leluhur. Dalam arkeologi dan antropologi, makam sering menjadi sebuah sumber data yang penting untuk memahami seluk beluk kehidupan di masa lalu. Oleh karena itu, pada proyek Mendengar, Melabuh Bertumbuh (2023) makam menjadi artefak penting untuk mempelajari sejarah leluhur Orang Pulo di Pulau Panggang.
Melalui proyek seni Berlayar Mendengar, Melabuh Bertumbuh (2023) merupakan implementasi terhadap praktik mencatat dan menyajikan data terkait leluhur Orang Pulo yang berasal dari berbagai suku dan daerah yang merantau atau berimigrasi ke Pulau Panggang. Citraan tersebut juga terpancarkan melalui alkulturasi yang terbangun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Pulau Panggang yang disajikan dalam film dokumenter. Pada buku saku yang dihasilkan dalam proyek ini, memaparkan terkait akulturasi yang dapat dibuktikan melalui tradisi yang terbentuk disana ‘pulau panggang’ seperti tradisi lamaran seperti layaknya yang dilakukan oleh masyarakat banten, lalu tradisi berlayar mencari ikan untuk hajatan seperti layaknya yang dilakukan di Mandar, budaya-budaya tersebut masih di wariskan dan dilakukan hingga saat ini. Dalam bertutur mereka biasanya menggunakan Bahasa Pulo, menariknya ketika memperhatikan ‘dialek’ dari bahasa pulo terdengar seperti gabungan tutur dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Budaya yang beragam dan inklusif yang didasarkan oleh fenomena “perantauan” sangat terefleksikan melalui dinamika yang terjadi di Pulau Panggang. Penting untuk diakui bahwa diversifikasi budaya mampu menciptakan mozaik tersendiri yang membangun identitas pulau tersebut. Dengan memelihara dan menghormati warisan budaya tersebut merupakan jembatan untuk pemahaman lintas budaya yang lebih mendalam.
Perantauan, Mobilisasi, dan Sentralisasi
Para perantauan dihadapkan oleh banyak tantangan, salah satunya ialah mobilisasi. Pada Ruang MES 56 Pavillion menampilkan proyek “Jauh di Sana, Dekat di Sini (2024)” proyek ini merupakan upaya berkelanjutan untuk mengabadikan dinamika terkait sentralisasi dan mobilisasi yang dirasakan oleh Mahasiswa yang merantau untuk menempuh pendidikan di Jawa, khususnya Jogja. Dorongan seseorang untuk menempuh pendidikan di Jawa dikaitkan oleh banyak aspek, beberapa diantaranya ialah dorongan kualitas infrastruktur yang memadai, komunitas akademik yang kuat dan aksesibilitas terpusat. Namun, disamping kelebihan-kelebihan itu terdapat tantangan nyata yang dihadapi oleh para mahasiswa perantauan.
Pada proyek “Jauh di Sana, Dekat di Sini” merefleksikan sensasi dan persepsi yang dirasakan oleh Fransisco Edwardo, Juanda M Arvis dan Vicentius Ola Lamapaha sebagai mahasiswa selama menempuh pendidikan di Jogja. Mobilisasi menjadi tantangan nyata bagi mereka sebagai perantau, terutama dalam upaya untuk dapat berbaur dengan sosio-kultural yang sudah terbentuk sebelumnya dalam dinamika budaya di Jogja. Proses penyesuaian dengan norma-norma lokal menjadi catatan penting untuk diperhatikan sembari mempertahankan identitas dan nilai-nilai dari asal mereka. Hal ini berkaitan dengan konsep individualism vs colectivism yang dipaparkan oleh Geert Hofstede (1980) bahwasanya seorang individu di upaya kam untuk dapat menyesuaikan diri dalam corak budaya tertentu dan mempertahankan identitas mereka dengan menimbang kembali terhadap penyesuaian perilaku dan keputusan untuk tetap berelasi dengan norma-norma sosial yang berlaku. Dalam hal ini, upaya penyesuaian terhadap norma dan budaya memainkan peran penting untuk menjaga mobilitas sosial bagi para perantauan sehingga dapat berbaur dengan satu dan lainnya.
Isu mobilisasi yang direfleksikan dalam karya Jauh di Sana, Dekat di Sini juga merefleksikan terhadap permasalahan yang dihadapi dalam mobilitas transportasi jarak jauh yang sangat tidak bersahabat. Para mahasiswa yang merantau dengan bentang jarak ribuan kilometer dan jauh dari pulau jawa harus menelan konsekuensi akomodasi yang tinggi untuk transportasi udara ketika mereka ingin balik ke kampung halaman. Menariknya, perjalanan domestik memiliki akomodasi yang lebih mahal ketimbang perjalanan internasional. Meskipun hal tersebut dilatarbelakangi oleh kendala teknis, akan tetapi hal tersebut berdampak langsung dan sangat dikeluhkan.
Melalui proyek Jauh di Sana, Dekat di Sini (2024) mencoba untuk memaparkan dinamika mobilisasi yang dialami oleh mahasiswa perantau saat ini. Serta mencoba memantik kembali bagaimana pengalaman empiris dan harapan direfleksikan sebagai catatan untuk menggali urgensi melalui dinamika yang terjadi dalam lika-liku perantauan.
Praktik kerja kolektif sangat memungkinkan untuk mengembangkan banyak konteks dan gagasan dalam merespon berbagai topik yang dikembangkan melalui ragam perspektif yang dibangun oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Partisipasi Ruang MES 56 dalam gelaran Baan Noorg Biennial 2024 merupakan salah satu citra praktik kerja kolektif dalam mewujudkan sebuah proyek seni yang di presentasikan ke publik. Tentunya, terdapat berbagai pertimbangan dalam mewujudkan sebuah karya seni sehingga menghasil proyek yang matang dan relevan dengan kebutuhan wacana publik. Topik “Perantauan” yang dihadirkan Ruang MES 56 dalam Baan Noorg Biennial 2024 merujuk dalam pembahasan terkait fenomena diaspora domestik. Melalui riset dan observasi yang dilakukan alhasil mampu menggali urgensi terkait isu yang digagaskan. Fenomena perantauan memiliki dinamika yang beragam, baik itu pengaruhnya dalam konteks diversifikasi budaya dan sentralisasi yang mempengaruhi terjadinya fenomena merantau. Akan tetapi, para perantauan dihadapkan juga dengan isu mobilisasi yang mana memantik upaya mereka untuk dapat menyesuaikan diri dalam gejala yang timbul dari cakupan mobilisasi.