Daur Ulang Film: 5 Film Pendek

Jumat, 10 Maret 2017
19.00 dan 21.00
Ruang MES 56,
Jalan Mangkuyudan No. 53A, Yogyakarta

Film:
What Day is Today?
Colectivo Fotograma 24

La Jetee
Chris Marker

Ponpoko Mountain
Takayuki Yoshida

Souvenir from Switzerland
Sorayos Prapapan

Neighborhood Times
Sara Azad

Menu Makananan:
Ayam Taliwang

Chef:
Giana

Kontak saudara Vandy Rizaldi (0857-4378-9528) untuk memesan tempat.

Mulanya, film dianggap sebagai medium yang memiliki kemampuan paling sempurna dalam merekam realitas. Ia mengalahkan kemampuan meniru dari seni patung maupun seni lukis. Dalam perjalanannya, proses merekam dan mengabadikan yang dilakukan oleh film tak hanya berupa visual, tapi juga audio. Dengan kolaborasi dari beragam alat di baliknya, film sampai hari ini melahirkan produk gambar bergerak lengkap dengan sinkronisasi audio. Puncak dari apresiasi publik terhadap film sebagai “alat” perekam dan atau peniru realitas adalah bagaimana ia mampu menyampaikan suatu peristiwa, dalam bentuk audio dan visual” secara naratif, kronologis, melalui montase-montasenya.

Seri film pendek minggu ini kami beri tajuk “Daur Ulang Film” menghadirkan 5 film pendek dari berbagai negara yang nantinya diharapkan dapat mengajak penonton untuk mendiskusikan medium film, bukan sebagai produk visual-audio naratif yang terberi, seperti yang kita kenal saat ini, melainkan sebagai sebuah karya yang di dalamnya terkandung banyak unsur, yang dapat diutak-atik, dikoborasikan dengan medium seni lain, dan dinarasikan ulang sebagai film. What Day is Today, sebuah film kolaborasi anak muda Portugal mengkombinasikan arsip cetak, stop motion, arsip audio, untuk menceritakan situasi politik di negaranya. Melalui cara penceritaan yang dinamis, dengan warna-warna cerah dari materi stop motion yang digunakan, film ini menghadirkan sejarah panjang Portugal—yang terbebas dari kandang kepemimpinan otoriter, lalu terjeblos ke kandang pemerintahan kapitalis berkedok demokrasi—dengan begitu ringan dan atraktif tanpa perlu mereduksi bobot ceritanya.

La Jetee karya Chris Marker, salah satu karya terkemuka angkatan Nouvelle Vague-Cahier du Cinema Prancis yang sampai hari ini masih getol dibicarakan, menawarkan sebuah pembacaan terhadap film sebagai medium gambar bergerak, yang tak lain sebenarnya tersusun dari rangkaian frame foto, yang junlah per detiknya berevolusi dari masa ke masa. La Jetee menghadirkan sebuah film yang berkisah tentang dunia masa depan dan masa lalu yang berlintas beririsan dengan kolase foto hitam-putih, salah satu cara paling baik dalam mengisahkan memori : gambar diam, dengan narasi suara yang mengisahkan tiap gambar.

Takayuki Yoshida, sutradara dari Ponpoko Mountain, salah satu film yang juga hadir dalam program ini, dalam setiap pengantar pemutaran filmnya selalu mengaku bahwa ia adalah penggemar Chris Marker. Terbukti dalam filmnya, Ponpoko Mountain, Yoshida mengadopsi beberapa pendekatan yang tidak lain digunakan lebih dulu oleh Chris Marker dalam beberapa filmnya. Ponpoko Mountain merekam suasana taman bermain di Jepang yang penuh cekikik anak-anak dalam visual hitam-putih. Dua presentasi yang kontradiktif : keceritaan anak-anak, dan visual hitam-putih yang muram. Dalam film ini Yoshida menghadirkan banyak medium shot dan diselipkan still foto sepatu anak-anak, lansekap taman trampolin berbentuk gunung yang membuat anak-anak meninggalkan sepatu pijakannya dan berlomba-lmba melompat meraih langit. Apa yang menarik untuk didiskusikan dari Ponpoko Mountain? Pilihan sang sutradara dalam menentukan yang mana harus dihadirkan dalam moving image dan still image.

A Souvenir from Switszerland dan Neighborhood Times, dua film terakhir dalam program pemutaran kali ini menggunakan pendekatan yang hampir sama dalam menceritakan konten filmnya. Sorayos Prapapan, sutradara muda dari Thailand dengan gaya satirnya menceritakan tentang perjalanannya ke Switszerland yang kemudian mempertemukannya dengan seorang kawan, sutradara asal Afganistan yang menjadi pengungsi di Swiss. Selipan-selipan humor dan rangkaian still image Swiss yang indah silih berganti dilatari dengan narasi cerita Sorayos, diam-diam turut menghadirkan suatu ironi dari negara dunia ketiga. Dengan bentuk penceritaan yang sama Neighborhood Times menghadirkan kesenyapan suatu lingkungan tempat tinggal masa kecil sang sutradara, Sara Azad di Azores. Jika La Jetee menghadirkan memori dan kenangan melalui foto-foto hitam putih silih berganti, maka Neighborhood Times menghadirkan rekaman visual dari lingkungan yang statis, bangunan-bangunan diam, jalanan sunyi, dan atmosfer benda-benda yang hadir seperti orang-orang yang tak saling peduli.

Café Society adalah bioskop mini yang menawarkan pengalaman kolektif dengan menyajikan film, kuliner dan interaksi sosial dalam suasana yang intim dan nyaman. Beragam jenis film dan kuliner dikurasi oleh Forum Film Dokumenter, MES 56 dan Bakudapan Food Study Group dalam mengemas peristiwa menonton yang sedap.

Program ini didukung oleh Sende kursimalas dan KUNCI Cultural Studies Center.